Sabtu, 27 Februari 2010

KONSEP PENDIDIKAN THAHA HUSEIN

KONSEP PENDIDIKAN THAHA HUSEIN
A. Bibilografi Tentang Thaha Husein
Thaha Husein lahir pada tanggal 14 november 1889 di sebuah kota kecil bernama Maghargha dari keluarga petani. Pendidikannya diawali di Kuttab, sebuah lembaga pendidikan dasar tradisional. Kemudian melanjutkan studinya di al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak sukai. Thaha Husein tidak menyukai karena kecewa dengan system pengajaran al-Azhar yang dogmatis dan sempit serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan, disamping itu sikap kebanyakan para gurunya yang tidak simpatik. Dua orang disukainya adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Sayyid al-Marsyafy. Dari Muhammad Abduh ia belajar belajar studi keagamaan, dan dari al-Marsyafy ia belajar sastra dan studi literature bersama Zayyat dan Muhammad Hasan Zanati.
Thaha Husein dan para mahasiswa lainnya Hasan Zayyat dan Hasan Zanati sering mengkritik dan menolak Syuyuh al-Azahr, sebagai balasannya mereka diskors dari perguruan al-Azhar. Hasan Zuyyat dan Hasan Zuyati kemudian terjun kedinua kewartawanan sedang Thaha Husein masuk ke Universitas Cairo.
Pada tahun 1908 Thaha Husein mendaftarkan diri sebagai mahasisiwa Universitas Cairo. Di sinilah ia berkenalan dengan metode barat Modern, setelah berkenalan dengan tokoh-tokoh (Orientalis) semisal Profesor Carlo Nallino (1872-1934), orientalis bangasa Italia, pengajar sejarah Sastra dan puisi Zaman Bani Umayyah, Profesor Santillana, pengajar sejarah Filsafat Islami dan Khusus sejarah penterjemahan, Profesor Miloni pengajar Mesir purba dan Prof. Littman pengajar tentang bahasa-bahasa Smit serta perbandingannya dengan bahasa Arab.
Pada tanggal 5 mei 1914 thaha husein memepertahankan disertasinya yang berjudul “Dhkira Abi al-‘Ala al-Ma’ari” di hadapan guru besar Universitas Cairo dan berhasil dengan judisium Jayyid jiddan (baik sekali). Pada tahun yang sama (1914) Thaha Husein di kirim ke Perancis, tepatnya di universitas Sarbonne sebagai anggota misi pendidikan Universitas Cairo. Tiga tahun kemudian (1917) ia meraih gelar doctor (untuk yang jedua kalinya) melalui desertasinya yang berjudul “Etude Analatique Et Critique De La Philosophie Sosiale Ibnu Khaldun” dan memperoleh Judisium Cumlaude.
Di Universitas Sarbone, Thaha Husein bertemu dengan sederetan sarjana ternama semisal Prof. Emile Durkhaem (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Prof. Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Prof. Casanova dalam ilmu tafsir dan Prof. Pierre Jenet dalam ilmu Psikologi. Perkenalan dengan sederetan sarjana yang berbeda disiplin ilmu itulah yang kelak akan mewarnai intelektualitas Thaha Husein (terutama dalam penelitian) hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversi pada zamannya.
Merasa mendapatkan kemajuan intelektualitas diri di Paris itu, Thaha Husein lantas berucap: paris is the capital of the modern world even as Athen was the capital of the ancient world, with difference that in knowledge, in philosophy, in freedom and in civilization, paris has all the immence superiority over Athen. Sekembalinya dari perancis (1921), thaha Husein diangkat menjadi guru besar untuk sejarah Romawi dan Yunani Kuno pada Universitas Cairo. Pada tahun 1928thaha Husein diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra. Tahun 1930 ia diangkat menjadi Dekan pada Fakultas yang sama. Tahun 1942 Thaha husein berperan sebagai Penasehat Kementerian partai wafd, kemudian diangkat menjadi Rektor pada Universitas Aleandria yang beru didirikan dan pada bulan Januari 1950-1952 thaha Husein diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Keika menjabat itulah Thaha Husein dapat mewujudkan keinginanya dalam memajukan penidikan di Mesir (seperti yang kan dikemukakan nanti).

B. Kondisi Obyektif Tingkat Pendidikan di Mesir
Melihat kondisi obyektif tingkat pendidikan umat Islam dan terutama mesir dimasa hidupnyaThaha husein penting sekali. Tanpa mengetahui kondisi obyektif tersebut sulit kiranya memahami gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh Thaha Husein yang cukup kotroversial, dan besasr kemungkinannya akan menilai negatif terhadap ide pembaharuannya.
Ketiak Thaha Husein menekuni studinya, kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi telah berusia (kurang lebih) 100 tahun. Ini bila diukur dengan kontaknya orang mesir dan terutama para ulamnya dengan kebudayaan modern yang dibawa oleh Napoleon. Kedatangan Napoleon (yang bukan hanya datang dengan tentara, tetapi juga dengan unsur-unsur peradaban modern barat yang tidak dikenal oleh dunia Timur)dapat menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir, bahwa umat Islam sudah jauh ketinggalan dari bangsa Eropa.
Kesadaran tersebut terucap oleh Abd. Rahman al-Jabarti seorang Ulama al-Azhar dan penulis sejarah setelah berkunjung kelembaga ilmiah dan laboratium perancis, ia mengatakan bahwa di sana dilihatnya benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang sulit ditangkap oleh akal.
Sebagai tindak lanjut dari kesadaran (kesadaran akan kemunduran) tersebut, tumbuhlah hasrat uamt Islam untuk bangkit kembali sebagai halnya di masa silam. Muhammad Ali (1765-1849)mengambil langkah kongkrit dalam gerakan pembaharuan tersebut.
Diantara langkahnya adalah mengirimkan putera-putera Mesir untuk belajar terutama ke Paris. Salah seorang yang dikirim adalah Syeikh at-Tahtawi (1801-1873) dan sekaligus bertindak sebagai Imam bagi para mahasiswa Mesir di Ibukota Perancis itu. Di kota Cairo ia mendirikan sekolah Militer (1815), Sekolah Tehnik (1816), sekolah kedokteran (1827), sekolah Apoteker (1829), sekolah Pertambangan (18340, sekolah Pertanian (1936) dan sekolah penerjemahan (1836).
Disaat Thaha Husein menekuni studinya (pada penghujung abad 19 dan awal abad 20) kemajuan Mesir tertama dibidang pendidikan belum menunjukkan kearah kondisi seperti yang diharapkan. Ini dapat dibuktikan melalui data (tingkatan) penduduk yang buta huruf di Mesir waktu itu. Tingkat buta huruf mencapai 99% bagi populasi penduduk wanita 92% bagi penduduk laki-laki.
Perlu diketahui bahwa pintu perguruan al-Azhar baru terbuka untuk wanita pada tahun 1956, ini berarti 48 tahun setelah Qasim Amin (1865-1908), pendekar emansipasi wanita di Mesir telah tiada. Seruan emansipasi wanita ini juga nampak diperjuangkan oleh Najib kailani dalam novelnya An-Nida al-Khalid lewat tokoh Sobirin dan baru pada masa Thaha Husein, wanita telah diperbolehkan kuliah di al-Azhar, demikian juga di Universitas-universitas lainnya.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa perjuangan emansipasi wanita terliahat adanya kesinambungan organic dan tidak pernah terputus dari pada pemikir, dimulai dari at-Tahtawi (1801-1873), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan yang lainnya. Pada masa Thaha Husein inilah wanita Mesir mendapatkan kesempatan yang banyak untuk mene,pa diri serta berkiprah dalam rangka mengisi kemerdekaan Mesir.
Syahrin Harahap dalam disrtasi Doktoralnya yang berjudul “Gagasan-Gagasan Sekularisme Thaha Husein” menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan lemahnya perkembangan dunia pendidikan di Mesir. Pertama, kurang atau lemahnya perhatian dan daya pemerintah yang berkuasa. Kedua, kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan hanya mengikuti kebijakan penguasa. Ketiga, sung gerak akademis terlalu sempit dan kaku.
Melihat kondisi pendidikan di Mesir yang cukup memprihatinkan inilah, Thaha Husein berkesimpulan bahwa pendidikan harus ditempatkan pada peringkat pertama (posisi kunci) dalam membangun masyarakat modern. Untuk itu Thaha Husein berbekal intelektualitasnya yang memadai dan pengalamannya selama studi di Perancis memberanikan diri untuk mengemukakan gagasan-gagasannya dibidang pendidikan, kendati ide-ide tersebut telah disadari tidak berjalan mulus seperti yang diharap.

C. Thaha Husein dan Gagasan dalam Pendidikan
Gagasan Tahah Husein dalam pendidikan pada pokoknya mengacu pada dua sasaran dalam meningkatkan intelektual. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut Thaha Husein sangat menaruh harapan pada Perguruan Tinggi (Universitas) terutama Universitas Cairo. Dengan harapan melahirkan para ilmuwan yang bebas dan merdeka. Gagasan dan harapan Thaha Husein ini tentu sangat beralasan mengingat bangsa Eropa telah mampu memperlihatkan kemajuan dengan system pendidiakn yang mengutamakan kebebasan berfikir dan kebebasan meneliti dengan metode analisis modern.
Menurut Thaha Husein, putra-putra Mesir harus memiliki kemerdekaan intelektual dan Negara Mesir tidak akan sia-sia ketika memutuskan untuk menjadikan sebagai generasi mudanya untuk menjadi ilmuwan yang bebas sebagaimana ditempuh oleh bangsa-bengsa lain (Eropa). Untuk mendapatkan kemerdekaan intelektual itu tidak ada jalan lain kecuali mengerti bagaimana memperoleh dan mencapai kemerdekaan tersebut, langkah yang terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam.
Berangkat dari situlah Thaha Husein mencangakan agar system pendidikan di negeri Mesir di tingkat menengah hingga perguruan tingginya diberlakukan system dan metode Barat termasuk juga system dan metode penelitiannya. Gagasan-gagasan Thaha Husein dalam pendidikan ini paling tidak dapat diketahui melalui karyanya yang berjudul Mustaqbal al-Thaqafah fi Mesir atau The Future of Culture in Egypt (masa depan kebudayaan di Mesir).
Beberapa pernyataan Thaha Husein (yang pada akhirnya melahirkan banyak protes) adalah pendapatnya bahwa otak Mesir adalah otak Eropa atau paling tidak dekat sekali dengan Eropa, dan mempunyai pertalian dekat dengan Yunani fikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan fikiran Timur Jauh, dan juga tidak serasi dengan fikiran Persia atau Iran. Fikiran Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling mrnguntungkan hanya dengan Timur Dekat dan Yunani. Statemen yang lain adalah perkataanya bahwa tidak ada satu kebodohan yang lebih besar dari kebodohan yang menganggap bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir untuk memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.
Sebagai realisasi dari gagasan-gagsan tersebut, terlihat antara lain ketika Thaha Husein diangkat menjadi Menteri Pendidikan (1950-1920), diantara program pokoknya adalah memberantas buta huruf dan memperbanyak jumlah sekolah dan perubahan kurikulum. Khusus dalam perubahan kurikulum Thaha Husein memasukan beberapa materi yang besar pengaruhnya dalam mengembangkan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Materi tersebut adalah sejarah nasional, bahasa nasional (Arab) dan agama nasional (Islam). Materi-materi tersebut merupakan bidang studi wajib untuk semua tingkatan pendidikan, tak terkecuali sekolah-sekolah yang didirikn oleh orang asing.
Tahah Husein juga memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. Wanita hendaklah mendapat kesempatan yang sama dengan kaum pria, hingga diharapkan kelak tidak hanya terampil mengurus rumah tangga atau mendidik putera-puterinya, melainkan juga mampu membangun bangsanya dalam batas-batas tabiat kewanitaanya. Usaha perjuangan emansipasi wanita ini berhasil dan terlihat setelah masa tugas Thaha Husein selesai pintu al-Azhar telah terbuka untuk kaum wanita (1954).
Dalam bidang perangakat keras (Hardwere) pendidiakan Thaha Husein mendorong pemerintah untuk membangun lebih dari 2600 ruang belajar dan menghapuskan uang sekolah untuk tingkat menengah. Thaha Husein juga mengadakan penambahan muatan isi pendidiakn di beberapa lembaga pendidikan. Kalau pada masa sebelumnya al-Azhar baru memiliki Fakultas-Fakultas tradisional, seperti Ushulussin, Syari’ah dan Bahasa Arab dan setelah itu mahasiwa-mahasiswa al-Azhar dapat menyempurnakan pelajarannya ke bagian tajhasusu (Special Section) yang terbagi menjadi empat bagian: Tarikh dan Filsafat, Ushul Fiqih, Wa’az dan Irsyad atau propaganda Islam, pada masa Thaha Husein al-Azhar sudah membuka fakultas-fakultas “non agama”, seperti ekonomi, kedokteran, farmasi dan pertanian.
Perubahan yang sangat penting adalah dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajr yang tadinya didasarkan kemampuan mengingat (menghafal), kini diganti menjadi pengembangan kemampuan pengamatan, analisis dan penalaran (reasoning).
Proses belajar-mengajar dengan metode beru ini, menuntut para dosen berkemampuan menyegarkan informasi tentang perubahan-perubahan disiplin ilmunya serta memahami masalh-masalah dunia masa kini. Usaha lainnya adalah meningaktkan juga para mahasiswa dan dosennya di negara-negara Islam.
Demikianlah beberapa gagasan Thaha Husen dalam dunia pendidikan terutama di mesir dan Thaha Husein telah berbuat apa yang terbaik untuk generasi selanjutnya. Gagasan-gagasan Thaha Husein tersebut memang asing pada jamannya karena mengkiblat ke barat, namun ia tetap yakin dengan cara itu (meniru system pendidikan di barat) kemajuan di berbagai bidang di dunia Islam akan segera terlihat tanpa harus meninggalkan nilai-nilai keislaman itu sendiri
KESIMPULAN
Thaha Husein (1889-1973 ) adalah putra Mesir yang telah mendapatkan didikan dari universitas Cairo dan juga pendidikan barat (Perancis). Doktoralnya diperoleh di universitas Cairo dengan disertasi berjudul “Dhikra abi al-ala al ma’ari” sedang disarbone (Perancis) berjudul “Etude Analique Et Critique De La Fhilosofhie Sociale Ibnu Khaldun”.
Perhatiannya di bidang pendidikan sangat besar, karena itu ia berkeinginan mentransper metode pendidikan barat ke negara Islam, meskipun hal itu masih ditanggapi sebagai pemikiran aneh (Kontroversial) dengan kawan semasanya.
Diantara gagasan-gagasan Thaha Husaen yaitu penambahan muatan kurikulum, penambahan jumlah fakultas diperguruna tinggi dalam negri, inovasi terhadap metode belajar mengajar dan lebih berorientasi pada kegiatan analisis, emansipasi wanita dalam pendidikan, penambahan ruang belajar, bebas biaya bagi siswa tingkat menengah serta meningkatkan jumlah duta-duta ilmiah kenegara barat.
Menurut Thaha Husaen system pendidiakn itu harus mengutamakan kebebasan berfikir dan kebebasan meneliti dengan metode analisis modern. Adapun faktor yang menyebabkan lemahnya perkembangan dunia pendidikan di Mesir itu ada tiga. Pertama, kurang atau lemahnya perhatian dan daya pemerintah yang berkuasa. Kedua, kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan hanya mengikuti kebijakan penguasa. Ketiga, ruang gerak akademis terlalu sempit dan kaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar di sini