Sabtu, 27 Februari 2010

KONSEP PENDIDIKAN AL MAWARDI

KONSEP PENDIDIKAN
AL MAWARDI

A. Riwayat hidup Al Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu Al Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al Basry. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M, dan ia wafat di Baghdad pada tahun 450 H, bertepatan dengan tahun 1058 M.
Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa Al Mawardi hidup pada masa kejayan Islam, yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam mengalami puncak kejayaannya. Dari keadaan demikian tidaklah mengherankan jika Al Mawardi tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqih dan sastrawan di samping sebagai politikus yang piawai.
Dari segi pendidikannya, pada awalnya Al Mawardi menempuh pendidikannya di daerah kelahirannya sendiri, yaitu Basrah. Di kota tersebut Al Mawardi sempat mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal sperti Al Hasan ibn Ali ibn Muhammad ibn Al Jabaly, Abu Khalifah al Jumhy, Muhammad ibn ,Adiy ibn Zuhar al Marqy, dan sebagainya. Menurut pengakuan muridnya, Ahmad ib Ali al Khatib, bahwa dalam bidang al-Hadits, Al Mawardi termasuk tsiqat . Selain mendalami Al Hadits. Al Mawardi juga mendalami bidang fiqih pada syeikh Abu al Hamid al Isfarayany, sehingga ia tampil sebagi salah seorang ahli fiqih yang terkemuka dari mahab Syafi’i. Keahlian Al Mawardi selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir nahwu, filsafat dan ilmu social, namun belum dapat diketahuai secarapasti dari mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
Sungguhpun Al Mawardi tergolong sebagai penganut mazhab Syafi’i, namun dalam bidang teologi ia juga memiliki pemikiran yang bercoraka rasional. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan Ibn as Salah yang menyatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara Ahli as Sunnah dengan Mu’tazilah, Al Mawardi cenderung kepada Mu’tazilah.
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, Al Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Dalam hal ini Al Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Safi,i, yang selanjutnya dinamakan al iqra.
Karir Al Mawardi selanjutnya dicapai pada masa khalifah Al Qaim (1031-1074). Pada waktu itu ia diserahi tugas sebagai duta diplomatic untuk melakukan negosiasi dlam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk Iran. Pada waktu itu ia mendapat gelar sebagai Afdal al Qudhat (hakim agung).
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai qadi, Al Mawardi juga sempat meluangkan waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Basrah dan Baghdad. Diantara muridnya yang terkenal bernama Ahmad ibn Ali al Khatib (392-463), seorang ulama hadits yamg terkenal, dan Abu al ‘Izz Ahmad ibn Ubaidillah ibn Qadisy.
Terlepas dari pandangan-pandangan fiqihnya, yang jelas sejarah mencatat bahwa Al Mawardi dikenal sebagai seorang yang sabar, murah hati, berwibawa dan berakhlak mulia. Hal ini antara lain diakui oleh para sahabat dan rekan-rekannya yang belum pernah memperlihatkan budi pekerti yang tercela.
Selain itu Al Mawardi juga dikenal sebagai seoarang ulama yang berani menyatakan pendapatnya walaupun harus menghadapi tantangan yang keras dari ulama lainnya. Selain sebagai seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintahan dan mengajar, Al Mawardi juga tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisannya dengan ikhlas. Menurut cacatan sejarah bahwa Al Mawardi memiliki karya ilmiah tidak kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok ilmu pengetahuan.
Pertama, kelompok pengetahuan agama. Karya Al Mawardi yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain kitab Tafsir berjudul An Nukat wa al Uyun. Buku ini menurut catatan sejarah belum pernah diterbitkan. Naskah buku ini masih tersimpan pada perpustakaan College ‘Ali di Konstantiniyah dan perpustakaan Kubaryali dan Rumpur di India. Selanjutnya buku berjudul Al Hawy al Kabir, yaitu buku fiqih dalam mazhab Safi,i yang memuat 4000 halaman dan disusuna dalam 20 bagian. Menurut informasi, buku ini sedang dikumpulkan naskahnya yang tersebar diberbagai negara Arab untuk dipublikasikan. Masih juga dlam bidang pengetahuan agama, tercatat kitab Al Iqra yang berisi ringkasan dari kitab Al Hawy dan ditulis dalam 40 halaman. Kemudian kitab Adab Al Qadi yang naskahnya berada di perpustakaan Sulaimaniyah di konstanturiah; dan kitab A’lam an Nubuwwah yang naskahnya masih tersimpan di Dar al Kutab al Misriyah.
Kedua, kelompok pengetahuan tentang politik dan kenegaraan. Buku yang temasuk ke dalam kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan ini adalah Al Ahkam al Sulthaniyah, Nasihat al Muluk, Tashil an Nazar wa Ta’jil az Zafar dan Qawanin al Wizarah wa as Siasat al Malik. Kitab Al Ahkam as Sulthaniyah termasuk karya Al Mawardi yang paling popular dikalangan dunia Islam. Buku ini berisi tentang pokok-pokok pikiran mengenai ketatanegaraan seprti teng jabatan khalifah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat sebagai khalifah dan para pembantunya, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah serta perangkat-perangkat ketatanegaraan lainnya. Buku ni telah diterbitkan di beberapa negara dan telah dialih bahasakan. Sementara itu kitab Nasihat al Muluk berisi nasihat bagi seorang pemimpin. Sedangkan Tashil an Nazar wa Ta’jil az Zafar adalah sebuah buku yang berisi masalah politik dan ragam pemerintahan. Selanjutnya kitab Qawanin al Wizarah wa Siasat al Malik berisi uraian mengenai ketentuan kementrian dan politik raja.
Ketiga, kelompok pengetahuan bidang akhlak. Buku yang termasuk ke dalam kelompok pengetahuan bidang akhlak ini diantaranya kitab An Nahwu, al Awsat wa’al Hikam dan Al Bughyah al ‘Ulya fi Adab ad Dunya wa ad Din. Buku An Nahwu berisis uraian mengenai tata bahasa dan sastra yang telah diteliti oleh Yaqut al Hamamy. Sedangkan kitab Al Awsat wa Al Hikam berisiskan 300 hadits, 300 hikmah, 300 buah syair. Sementara itu kitab Al Bughyah al ‘Ulya fi Adab ad Dunya wa ad Din merupakan kitab yang amat popular hingga sekarang dan dikenal sebagai kitab Adab ad Dunya wa ad Din.
Kitab Adab ad Dunya wa ad Din. Dinilai sebagai buku yang amat bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa. Sementara itu seorang ulama Turki bernama HawaisWafa ibn Muhammad ibn Hammad ibn Khalil ibn Dawud al Arzanjany pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328.

B. Pemikiran Al Mawardi dalam bidang pendidikan
Pemikiran Al Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terjonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dengan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan yang sangat penting, bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian besar bergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan materi pelajaran tersebut serta kepribadiannya yang baik, yaitu pribadi yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya secara harmonis.
Al Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadhu (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Menurut Al Mawardi sikap Tawadhu akan menimbulkan simpatik dari para peserta didiknya, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang disenangi. Sikap Tawadhu yang dimaksudkan Al Mawardi bukanlah sikap menghinakan diri atau merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang lain, karena sikap ini akan menyebabkan orang lain meremehkannya. Sikap tawadhu yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan merasa sederajat dengan orang lain dan saling menghargai. Sikap demikian akan menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi, serta rasa senasib dan cinta keadilan. Dengan sikap tawadhu tersebut, guru akan menghargai muridnya sebagai mahluk yang memiliki potensi, serta melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini sejalan dengan prinsip yang digunakan para pendidik di zaman modern, yaitu bahwa dalam kegiatan belajar mengajar di masa sekarang seorang murid dan guru berada dalam kebersamaan.
Pada perkembanagn selanjutnya sikap tawadhu tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengmabangkan individu seoptiml mungkin. Guru tersebut menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes, dimana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Pelaksaan prinsip demokratis di dalam kegiatan belajar mengajar dapat diwujudkan dalam bentuk timbal balik antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru. Dalam interaksi tersebut seorang guru akan lebih banyak memberikan motivasi, sehingga murid menjadi bersemangat dan bergairah serta merasa mempunyai harga diri, karena potensi, kemauan, prakarsa, dan kreatifitasnya merasa dihargai. Dengan demikian sikap demikratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar siswa aktif.
Selanjutnya Al Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain harus bersikap tawadhu, juga harus bersikap ikhlas. Secara harfiah berarti menghindari riya. Sedangkan dari segi istilah ikhlas berarti pembersiahn hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya. Keikhlasan ini ada kaitannya dengan motivasi seseorang. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada guru yang mengajar ada karena motif ekonomi, memenuhi harapan orang tua, dorongan teman atau mengharapkan status dan penghormatan serta lainnya.
Selain moyif-motif tersebut seorang guru harus mencinyai tugasnya. Kecintaan ini akan tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati. Namun motif yang paling utama menurut Al Mawardi adalah karena panggilan jiwanya untuk berbakti kepada Allah SWT dengan tulus dan ikhlas. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa akhlak yang harus dimiliki para guru adalah menjadikan keridhoan dan pahala dari Allah SWT sebagai tujuandalam melaksanakan tugas menajar dan mendidik muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi. Pernyataan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa Al Mawardi menghendaki agar seorang guru benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya bahwa tugas mendidik dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yajni keridhoandan pahala Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari orientasi semacam ini adalah pelaksanaan tugas guru dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung jawab.
Selanjutnya Al Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasra motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik merupakan aktifitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarkan dengan materi. Dalam kaitan ini Al Mawardi mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu adalah puncak segala kenikmatan dan pemuas segala keinginan. Siapa yang mempunyai niat ikhlas dalam ilmu, maka ia tidak akan mengharap mendapatkan balasan sari ilmu itu.
Dengan demikian, tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan Al Mawardi merupakan tugas yang luhur dan mulia. Itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-mata mengharapkan ridha Allah. Apabila yang dituju dari tugas mengajarnya itu adalah materi, maka is akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya. Selain itu ia sengat peka terhadap hal-hal atau persoalan yang ditemukan dalam tugasnya, misalnya soal administrasi, kenaikan pangkat, hubungan dengan kepala sekolah dan sebagainya. Tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal ini selanjutnya dapat merusak atau mengurangi hasil atau nilai pendidikan yang diterima anak didik. Dengan kata lain, seorang guru dalam pandangan Al Mawardi bukanlah orang yang berorientasi pada nilai ekonomi yang diterimanya sebagai akibat atau imbalan dari tugasnya. Dari uraian tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa makna keikhlasan seorang guru dalam mendidik adalah kesadaran akn pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal. Keikhlasan inilah akan menentukan keberhasilan tugasnya sehari-hari, tanpa merasakannya sebagai suatu beban, melainkan sebaliknya justru akam merasa bahagia, penuh harapan dan motivasi, karena dari tugas mengajar dan mendidiknya itu, ia kelak akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
Berdasarkan sikap ikhlas tersebut, maka seorang guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara professional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama, selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti dalam penguasaan materi (bahan pelajaran), pemilihan metode,penggunaan sumber dan media pengajaran, pengelolaan kelas dan lain sebagainya.
Kedua, disiplin terhadap peraturan dan waktu, dalam keseluruhan hubungan social dan profesionalnya, seorang guru yang ikhlas akan bertindak tepat dalam janji dan penyelesaian tugasnya. Guru yang ikhlas akan mampu mengelola waktu bekerja dan waktu lainnya dengan perencanaan yang rasional dan disiplin yang tinggi.
Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesionalnya. Guru yang ikhlas dalam keseluruhan waktunya akan digunakan secara efisien, baik dalam kaitannya dengan tugas keguruan maupun dalam pengembangan kariernya, sehingga ia akan mencapai peningkatan. Bila sebagian waktu luangnya digunakan juga untuk hal-hal yang berada di luar tugasnya, maka guru yang ikhlas akan menggunakannya secara bijaksana dan produktif serta tidak mengganggu tugas pokoknya.
Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Guru yang ikhlas akan menyadari pentingnya katekunan dalamkeuletan bekerja dalam pencapaian keberhasilan tugasnya. Oleh karenanya ia akan selalu berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan mengatasi segala kesulitan dengan penuh kesabaran, sehingga akhirnya program pendidikan yang telah ditetapkannya akan berjalan sebagaimana mestinya serta mencapai sasaran. Di samping itu, keuletan dan ketekunan yang ditampilkan guru sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang ulet, tekun, penuh kesungguhan dak ketelitian.
Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini timbul dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan pendidikan masa mendatang, sejalan dengan kemajuan iptek. Guru yang ikhlas akan terus mengevaluasi dan mengadakan perbaikan proses belajar mengajar yang telah digunakannya selama ia bertugas. Lebih jauh dari itu, guru tersebut akan mempelajari kelemahan dan kelebihan dari berbagai teori dan konsep yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar yang diterapkan para pendahulunya, untuk selanjutnya dilakukan penyempurnaan dan pengayaan. Mengingat tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara mekanis, eksak dan dengan resep tunggal serta tak terbatasnya variasi tindakan keguruan, maka guru dituntut untuk mampu bertindak kreatif.
Dalam kaitannya dengan keikhlasan tersebut, Al Mawardi juga berbicara tentang gaji. Dalam hubungan ini, Al Mawardi mengatakan bahwa di antara akhlak yang harus dimiliki seorang guru adalah membersihkan diri dari pekerjaan-pekrjaan syubhat dan menguras tenaga. Hendaknya ia merasa cukup atas penghasilan yang dicapai dengan mudah, daripada penghasilan yang dicapai dengan susah payah. Guru harus meninggalkan pekerjaan yang syubhat, karena perbuatan syubhat akan berakibat dosa. Pahala lebih baik dari dosa dan kemuliaan lebih pantas dibandingkan dengan kehinaan.
Pernyataan Al Mawardi tersebut mengingatkan kepada kita tentang peranan dan figure strategis yang dimiliki seorang guru. Menurut Al Mawardi bahwa seorang guru harus merupakan figur yang dapat dicontoh oleh murid dan masyarakat. Oleh karena itu segala tingkah laku guru harus sesuai dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran agama yang berasal dari wahyu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggung jawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini Al Mawardi mangatakan hendaknya seoran guru menjadikan amal atas ilmu yang dimilkinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia temasuk golongan yang dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya dengan seekor keledai membawa kitab di punggungnya.
Pernyataan Al Mawardi tersebut mengisyaratkan bahwa bagian dari kegiatan mendidik adalah memberikan teladan. Oleh karena itu dalam memberikan ilmu kapada muridnya, seorang guru dituntut memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya. Dengan kata lain, seorang guru harus konsekuen dalam menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan dan perintah dengan amal perbuatannya sendiri. Selain sebagai teladan, seorang guru juga harus tampil sebagai penyayang. Guru merupakan actor kedua setelah orang tua dalam memberikan modal atau bekal dasar kepada anak-anaknya. Oleh karenannya, guru sebagai pendidik profesional dituntut untuk berperan sebagai orang tua di sekolah. Dengan kedudukannya yang demikian, maka seorang guru harus memiliki sifat kasih sayang dan lemah lembut terhadap muridnya. Dalam hubungan ini, Al Mawardi mengatakan bahwa diantara akhlak seorang guru adalah tudak berlaku kasar kepada muridnya, tidak boleh menghina murid yang sedang berkembang, tidak boleh memandang rendah murid-muridnya. Karena semua itu akan membuat mereka lebih tertarik, terkesan, dan bersemangat.
Kasih sayang dan lemah lembut yang ditujukan oleh guru tersebut sejalan dengan psikologis manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan semangat belajar seorang murid atau sebaliknya amat bergabtung kepada adanya hubungan antara murid dan guru. Apabila guru bersikap kasar dan keras hati serta menggunakan cara-cara mengajar yang tidak tepat, seperti mengancam, menyesali, menghina dan tidak mendorong para murid untuk giat belajar, maka hal itu dapat menyebabkan para murid kurang senang kepada guru dan tidak mau menerima pelajaran yang diberikannya. Secara psikologis, setiap manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus daripada diperlakukan dengan cara-cara keras dan kasar.
Selanjutnya seorang guru juga harus tampil sebagai motivator. Seorang murid akan belajar sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak demi mencapai kesuksesan, jika ia menyadari manfaat belajar, sehingga kegiatan belajar itu dirasakannya sebagai suatu kebutuhan dan sesuatu hal yang penting baginya. Dalam kaitan ini diantara akhlak para guru adalah tidak menghadapi muridnya dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena semua itu akan menghilangkan rasa simpati pada gurunya dan pada gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal itu terus berlangsung, maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu yang disebabkan kelalaian para guru. Peranan guru sebagai motivator penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Megingat mengajar seperti yang dikatakan William Burton adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar.
Selanjutnya Al Mawardi menegaskan tentang tugas dan peran guru sebagai pembimbing. Bimbingan dapat diartikan sebagai kegiatan memantau murid dalam perkembangannya dengan jalan menciptakan lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan dari segi bentukya bimbingan tersebut dapat berupa pemberian petunjuk, teladan, bantuan, latihan, penerangan, pengetahuan, pengertian, kecakapan dan keterampilan, nilai-nilai, norma serta sikap yang positif. Dalam kaitan ini Al Mawardi mengatakan, diantara kewajiban guru adalah memeberikan nasihat atau bimbingan kepada muridnya, kasih sayang, mempermudah jalan bagi muridnya, berusaha keras menolong dan membantu muridnya. Semua itu akan menghasilkan pahala yang besar, keluhuran namanya, serta semakin bertambah dan menyebar ilmunya.
Bentuk-bentuk bimbingan tersebut selanjutnya adalah dengan jalan membantu murid-murid untuk mengembangkan pemahaman diri sesuai dengan kecakapan, minat, pribadi, hasil belajar serta kesempatan yang ada, membantu proses sosialisasi dan sensivitas kepada kebutuhan orang lain, mengembangkan motif-motif intrinsic dalam belajar sehingga tercapai kemajuan pengajaran, memberikan dorongan dalam pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan keterlibatan diri dalam proses pendidikan, mengembangkan nilai dan sikap secara menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri sendiri, memahami tingkah laku manusia, membantu murid-murid untuk memperoleh kepuasan pribadi dan dalam penyesuaian diri secara maksimum terhadap masyarakat serta membantu aspek fisik, mental dan social.
Dalam uraian tersebut di atas terlihat bahwa pemikiran Al Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian seorang guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Sebenarnya seorang guru bukan hanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi juga harus memilki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi yang akan diajarkannya. Namun jika hal tersebut dibandingkan dengan kepribadian, tampaknya Al Mawardi lebih mengutamakan kepribadian. Hal ini dapat dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang sulit dibentuk.

C. Analisis
. Dalam pembahasan mengenai pemikiran Al Mawardi tersebut mengatakan bahwa Al Mawardi banyak memberikan kontribusinya berupa pemikirannya terhadap pendidikan Islam. Beliau banyak menitikberatkan pada hubungan guru dengan murid. Dalam hal ini Mawardi menfokuskan pada keprofesionalan guru dalam mendidik anak dididknya. Guru merupakan sentral dari kegiatan belajar mengajar. Menurut Al Mawardi keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh guru. Jadi pada dasarnya kualitas guru dalam proses belajar mengajar sangat menentukan.
Keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh mutu profesionalisme seorang guru. Guru yang profesional bukanlah guru yang hanya dapat mengajar dengan baik, tetapi juga guru yang dapat mendidik. Untuk itu selain harus menguasai ilmu yang diajarkan dan cara mengajarkannya dengan baik, seorang guru juga harus memiliki akhlak yang mulia. Guru juga harus mampu meningkatkan pengetahuannya dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan zaman. Berbagai perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus diantisipasi oleh guru. Dengan demikian seorang guru tidak hanya menjadi sumber informasi, ia juga dapat manjadi motivator, inspirator, dinamisator, fasilitator, evaluator dan sebagainya.
Jika kita membandingkan karakteristik guru yang dikatakan oleh Al Mawardi dengan para ahli pendidikan yang lainnya, misalnya Al Ghazali. Al Ghazali mengatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus bersih hati, berbuat dan bersikap yang terpuji, serta sebagai pengayom, berkasih sayang terhadap murid-muridnya dan hendaknya memperlakukannya sebagai anaknya sendiri. Sedangkan menurut Ibn Muqaffa bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, meluruskan pikirannya, dan menjaga kata-katanya terlebih dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain.
Sehubungan dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka saya kira keberhasilan pendidikan tidak seluruhnya tergantung terhadap guru. Namun di samping itu ada sub sistem lain yang berhubungan dengan saling keterkaitan mendukungnya. Saya paham dengan pemikiran Al Mawardi, karena mungkin saat itu guru dijadikan sentral dalam pendidikan. berbeda dengan zaman sekarang ini yang memerlukan sub sistem lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar di sini