Sabtu, 27 Februari 2010

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT K. H. ABDUL WAHID HASIM

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT
K. H. ABDUL WAHID HASIM

Biografi K.H Abdul Wahid Hasim
Abdul Wahid Hasim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 atau bertepatan dengan tanggal 5 Rabi’al-Awal 1333 di Jombang, Jawa Timur. Dia adalah putra Kyai haji (K.H) Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Nama yang diberikan ketika ia lahir adalah Muhammad Asy’ari, meniru nama kakenya. Tetapi karena ia sering sakit, maka nama itu diganti dengan Abdul Wahid, nama salah seorang nenek moyangnya. Selama masa kecilnya ia dipanggil oleh ibunya dengan Mudin, sedang santri ayahnya memanggil dia dengan panggilan Gus Wahid.
Tahun dimana Wahid lahir, menurut Dhofier, mempunyai nilai sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mendasarkan argumentasinya dari analisis yang dikemukakan oleh Berhard Dahm, Dhoifier menyebutkan bahwa Budi Utomo dan Indische Partiji, dua organisasi yang diakui sebagai pelopor dalam pendirian organisasi modern yang bertujuan menumbuhkan kesadaran nasional, telah gagal menjadi organisasi massa yang besar. Berdasarkan fakta yang ada, semejak pendirian kedua organisasi tersebut, Budi Utomo hanya mampu merekrut sekitar 10.000 anggota, sedang Indische mempunyai angota sekitar 7.500 orang. Kegagalan mereka dalam mobilisasi masyarakat secara luas disebabkan, diantarnya, kurang mempunyai para pemimpin Budi Utomo untuk mengidentifikasi kemauan masyarakat secara umum, sedang Indische Partij lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada komunitas Eurasian dan cina.
Organisasi pertama yang berhasil menjadi organisasi massa yang besar adalah Sarekat Islam (SI). Sebelum SI berdiri, telah berdiri sarekat dagang Islam (SDI). yang didirikan oleh Samanhudin pada tahun 1911. Organisasi ini pada mulanya bergerak dalam bidang perdagangan. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 september 1912, organisasi ini dirombak dan diganti dengan nama sarekat Islam dengan HOS Tjokroaminoto sebagai ketuanya. Organisasi ini memperluas sasaran perjuangannya dengan mengkonsentrasikan pada masalah politik dan sosial, disamping tetap bergerak dalam bidang ekonomi. Pada awal berdirinya, organisasi ini hanya mempunyai 4.500 anggota.dua tahun kemudian, tahun dimana Wahid Hasim Lahir, keanggotaannya berlipat sampai berjumlah 366.913 orang.
Kondisi politik dan sentimen keagamaan yang begitu kental pada waktu itu mungkin tidak mempunyai arti bagi anak-anak akan tetapi kondisi waktu itu mempunyai arti sangat penting bagi Wahid Hasim sebagai anak Ulama yang terkenal dan khasismatik, K.H. Hasim Asy’ari yang mana semua pemimpin nasional, seperti Jendral Sudirman dan Bung Tomo seiring bersilaturahim guna mendapatkan nasehat dan petunjuk atas persoalan agama dan politik.
Melacak nenek moyang baik dari segi garis Ayah maupun Ibu, Wahid Hasim berasal dari keluarga yang agamis. Ini berarti bahwa dia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang agamis. Ibunya, Nafiqah, adalah anak dari Kyai Ilyas seorang kyai yang terkenal dari pesantren Sewulan Madium, sedang dari garis keturunan ayah, dia merupakan keturunan dari ulama yang sangat dihormati. Ayah, kakek dan kakek buyutnya adalah ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar ilmu agama dan yang mengilhami berdirinya pesantren di Pulau Jawa. Ayah Wahid Hasim sendiri, Hasim Asy’ari, adalah pendiri pesantren Jombang. Kakeknya, K.H. Asy’ari pendiri pesantern keras Jombang. Sedangkan kakek buyutnya, K.H. Usman, selain dikenal sebagai pendiri pesantren gedang, juga dikenal sebagai ulama yang mengenalkan ajaran tarekat Naqsabandiyah di Jombang, bahkan pesantrennya sebagaimana disinyalir oleh Gus Dur, sebagai pusat gerakan sufi di Jawa Timur.
Sebagai mana seorang Kya’i Hasim Asy’ari menaruh perhatian yang luar biasa dalam pendidikan agama bagi putra-putrinya dengan pertimbangan bahwa pendidikan sebagai elemen dasar dalam pembentukan kepribadian yang baik semejak kecil, Wahid Hasim belajar langsung bimbingan ayahnya. Selain belajar bahasa Arab, ia juga mempelajari yang lainnya, misalnya membaca al-Qur’an sebagai tahap awal dari sitem pembelajaran pesantren. Pada usia 7 tahun Wahid Hasim mulai belajar teks-teks bahasa Arab klasik yang bermaktub dalam kitab kuning.
Perkembangan pengatahuan yang diperoleh Wahid Hasim selalu menjadi perhatian ayahnya. Ketika Wahid Hasim sudah cukup dalam memahami agama ayahnya mengirim dia untuk lebih mendalami ilmu-ilmu agama diberbagai pesantren. Pada usia 13 tahun dia meninggalkan pesantren Tebu Ireng. Pesantren yang pertama dikunjunginya ialah pesantren Siwalan Panji, Siwoardjo, pesantren dimana ayahnya pernah belajar dibawah bimbingan Kya’I Hasim dan kya’I Chozin Panji.
Pada tahun 1936 dia mendirikan perpustakaan dan berdirinya organisasi Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Pada tahun 1938, Wahid Hasim ikut terlibat organisasi NU. Dan kemudian ketua cabang NU di Jomlang. 2 tahun kemudian ia dipromosikan menjadi pengurus besar NU tepatnya di Departemen Pendidikan (Ma’arif). Di lembaga inilah ia mempropagandakan ide-ide yang berkaitan dengan kurikulum pesantern dan mereorganisasi-organisasi NU. Wahid Hasim peduli terhadap perpolotikan saat itu, khususnya pada akhirnya penjajahan Belanda dan datangnya bangsa Jepang. Dia terlibat kedalam dalam menetang adanya penjajahan. Pada tahun 1940 ia terpilih menjadi ketua MIAI (Majlis al-Islam al-Ala Indonesia) sebuah pederisasi organisasi Islam pada tahun 1937, dimana NU dan Muhammadiyah menjadi tulang punggungnya. Bersama-sama dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
Setelah merdeka 1945, Wahid Hasim bersama ulama-ulama dari kalangan moderis maupun tradisionalis menyenggarakan Muhtawar Indonesia di Yogyakarta. Ia juga dipilih menjadi ketua Masyumi, menjadi mentri agama dalam tiga kabinet (Hatta, Natsir dan Sukirman) dan gagasan ia untuk mendirikan Perguruan Agama Islam Negeri (PTIN) yang kemudian diubah menjadi IAIN.
Ketika NU di bawah kepemimpinanya memutuskan keluar (melepaskan diri) dari Masyumi dan mendeklarasikan berdirinya NU sebagai partai politik pada tahun 1952, Wahid Hasim mencurahkan seluruh tenaganya bagi perkembangan partai tersebut. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 April 1953, ia meninggal dunia akibat tabrakan mobil ketika akan menghadirinya rapat NU di Bandung. Dikuburkan di tanah kelahirannya, Jombang dia meninggalkan istri, Solihah, dan enam orang putra. Putra tertuanya adalah Abdurahman al-Dachil, yang populer dipanggil Gus Dur mantan ketua PBNU dan Presiden ke-4.

Karya Wahid Hasim
Wahid Hasim adalah seorang penulis yang cukup produktif. Meskipun dia tidak menulis sebuah buku, berbagai artikel ditulisannya baik meyangkut masalah keagamaan, pendidikan maupun isu sosial politik. Tulisan-tulisnya dipublikasikan di berbagai majalah dan koran. Secara umum, tulisan Wahid Hasim dapat diklasifikasikan menjadi empat yakni pendidikan, politik, administrasi departemen agama, dan agama.
Dalam bidang pendidikan, Wahid Hasim memberikan perhatian terhadap reformasi pendidikan, misalnya pendidikan bagi anak, perkembangan kemampuan bahasa, pendidikan agama, termasuk di dalamnya pendirian perguruan tinggi agama, dan perlunya penggunaan rasio guna menyelesaikan masalah-masalah kekinian. Ia menulis juga sebuah artikel yang berjudul ‘’Abdullah Oebayd sebagai pendidikan’’ dalam artikelnya, dia menjelaskan bagaimana sebaiknya mendidik seorang anak, dia mengatakan bahwa anak-anak harus dilatih sejak dini untuk menggunakan segenap kemampuannya. Ini sangat penting untuk membiasakan mereka bersandar pada dan mengetahui kemampuan mereka sendiri. Dengan demikian, anak-anak akan tumbuh dengan percaya diri dan tidak mudah menyerah dalam menggapai cita-cita mereka.
Ia menumbuhkan rasa kebangsaan dengan mendorong anak bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia. Dalam artikelnya ‘’Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa’’ dia juga mengajak bangsa Indonesia menggunakannya sehari-hari dalam kehidupan. Artikel ini ditulis sebagai respon terhadap adanya kecenderungan menggunakan bahasa asing seperti bahasa Belanda dan Inggris, dalam sehari-harinya. Ekspresinya ‘’good morning atau goeden morgen’’ lebih banyak terdengar dalam masyarakat dibandingkan ‘’selamat pagi’’.
Berdirinya perguruan tinggi agama, menurut Wahid Hasim, merupakan satu cara mencapai kemajuan. Ia menekan bahwa ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dalam atmoster keterbukaan, tak dicampuri dengan doktrin agama dan politik. Dalam sambutannya, dia juga menambahkan bahwa perlu menjalin kerja sama antara perguruan tinggi lainnya, misalnya Sekolah Teologi, bahkan ia berharap adanya merger diantara perguruan tinggi tersebut.
Dalam artikelnya juga dituliskan ‘’Siapakah Jang Akan Menang dalam Pemilihan Umum Jang Akan Datang?’’ misalnya, Wahid Hasim secara terang-terangan mengkritiki partai-partai politik yang masih mengutamakan kepentingan indipidualisme keinginan (interest) golongannya di atas kepentingan Negara. Tujuh tahun setelah kemerdekaan, menurutnya tidak membuat Indonesia semakin bagus dalam beberapa aspek lebih buruk. Adanya situasi ini disebabkan partai politik tidak punya spirit untuk maju, tetapi sebaliknya mereka berebut untuk mendapatkan kursi, yakni mengamankan posisi mereka dalam pemerintah, meskipun tidak layak untuk mendudukinya. Wahid Hasim meminta agar partai politik menyadari kelemahan mereka, keluar dari pikiran yang sempit dan picik dan berjuang bagi kejayaan bangsa Indonesia secara umum.
Biografi Wahid Hasim, setidaknya menunjukan bahwa meskipun produk pesantren, dia adalah seorang yang berpikiran maju sebagaimana dibuktikan dengan keterlibatkan dalam berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik. Keterlibatannya di NU, MIAI, dan Masyumi mengindikasikan komitmennya terhadap pendidikan, perjuang kemerdekaan dan perkembangan sebuah Negara Indonesia yang kuat.

Pembaharuan Pendidikan
Setelah terlibat dalam perpolitikan beberapa tahun khususnya pada masa Jepang perang kemerdekaan Wahid Hasim kembali berkiprah dalam dunia pendidikan yakni terlibat dalam upaya meningkatkan pendidikan Umat Islam pada awal tahun 50-an. Penunjukan Wahid Hasim sebagai mentri agama dalam tiga kabinet, yakni kabinet Hatta, Natsir dan Sukirman, secara terus menerus, menurut Dhofier, merupakan pristiwa penting dalam sejarah Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan. Dia berargumentasi bahwa benar kementrian sudah ada sejak Kbinet Syahir, yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946, akan tetapi disesbabakan belum amannya situasi pada waktu itu sampai adanya pengakuan kedaulatan Negara Indonesia pada bulan desember 1949, kementrian agama mempunyai peran yang berarti dalam sistem pemerintahaan Indonesia. Wahid Hasimlah yang memberikan peran yang berarti.
Diantara usahanya adalah memasukan pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan nasional. Wahid Hasim menyadari bahwa sejak sisitem pendidikan nasional mengadopsi pelajaran sekuler, banyak hal yang hilang dari pendidikan terutama dalam yang berkaitan dengan nilai dan moral. Hal ini menjadi perhatiannya karena, sebagaimana disebutkan diatas pendidikan yang menjadi motor penggerak kemajuan Indonesia tidak hanya peroalan perkembangan akal atau badan dan keterampilan belaka, akan tetapi juga persoalan perkembangan spirit yang hanya dapat dicapai melalui pendidikan agama. Oleh karena itu, dia menekankan bahwa sistem pendidikan nasional harus memasukan pelajaran agama dan harus diberiakn secara seimbang dengan pelajaran umum. Perdebatan melalui apakan pelajaran agama harus diberikan disekolah pemerintah (negeri) atau tidak, akhirnya diakhiri dengan SK bersama antara kementrian agama dengan kementrian pendidikan yang menyatakan bahwa pelajran agama harus diberiakn sejak kelas 4 dan sekolah menengah selama 2 jam dalam seminggu. Berkat usaha Wahid Hasim-lah dalam kabinet, akhirnya pemerintahan mengeluarkan peraturan tertanggal 21 januari 1951, yang mewajibkan pelajaran agama harus diajarkan di sekoalah umum.
Untuk meningkatkan kualitas madrasah, Wahid Hasim mengusahakan adanya subsidi bagi madrasah swasta mulai level dasar, menengah pertama dan atas. Berkaitan dengan kurikulum, Wahid Hasim juga mengeluarkan peraturan mentri agama no. 3 tertanggal 11 Agustus 1950 yang mewajibkan adanya pelajaran umum diajarkan di madrasah.
Selama menjadi menrti agama, Wahid Hasim juga berinisiatif untuk mengembangkan sistem pendidikan yang sudah ada, misalnya didiriaknya PGA (Pendidikan Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Islam Negeri). Wahid Hasim menyadari bahwa kebanyakan guru yang mengajar di madrasah adalah lulusan HIS atau hanya lulusan pesantern yang dianggap belum mampu mengemban tugas tersebut, oleh karena itu berdirnya PGA di setiap propinsi dan kemudian tiap kabupaten mempunyai arti yang sangat penting, sehingga guru-guru madrasah yang lululs PGA akan dilengkapi berbagai keterampilan proses belajar mengajar yang modern. Hal ini mempunyai damapak positif dalam membantu peningkatan kualitas lulusan madrasah.
Wahid Hasim juga mendirikan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) pada tanggal 26 Desember 1951 di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi 14 IAIN, satu IAIN ditiap 14 provinsi, menampung kurang lebih tiga puluh ribu mahasiswa, perkembangan IAIN masa tersebut sangat tergantung kepada perkembangan madrasah ataupun PGA yang ingin melanjutakan pendidikannya. Meskipun pembentukan perguruan tinggi tersebut, menurut Wahid Hasim, bertujuan untuk mencapi kemajuan dengan memberikan penekanan pada pengembangan atmosfir berfikir secara rasional, sayangnya dalam perkembangannya, institusi ini banyak menghadapi problem,khususnya kualitas pendidikannya.
Beberapa orang bisa jadi menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Wahid Hasim menyebabkan adanya dualisme dalam sistem pendidikan Indonesia. Di satu sisi Departemen Pendidikan dan kebudayaan mengembangkan sistem pendidikan yang berorentasi kepada sistem barat, sedang disisi lain, yang lain, karena usaha Wahid Hasim, departemen agama menerapakan sistem pendidikan yang berorentasi pada institusi pesantren. Akan tetapi, pengambilan kesimpulan seperti itu menurut Dhofier, sama halnya menafikan fakta-fakta sejarah Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan. Sebagaimana dijelaskan diatas,belandalah yang mengenalkan sistem pendidikan barat yang menyebabkan adanya dikotomi pendidikan di tanah air. Apa yang di lakukan Wahid Hasim, dengan mendirikan dan mengembangkan madrasah,adalah upaya kompromi yang menjembatani dua sistem, sisitem barat dan sistem pesantren

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar di sini