Sabtu, 27 Februari 2010

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan merupakan pembelajaran tentang kehidupan manusia di dalam beragam fungsi dan kebutuhan. Dalam pembelajaran terkandung upaya pemenuhan fungsi-fungsi sosial, ekonomi dan politik, serta beragam kebutuhan materiel dan spiritual lainnya agar ia bisa tumbuh sebagai manusia normal dan sehat. Kemampuan seseorang untuk bisa hidup sebagai warga negara, komunitas keagamaan atau etnis, hingga ketetanggaan dan kampung, memerlukan sebuah aksi pembelajaran. Demikian pula kemampuan memenuhi kebutuhan biologis berkeluarga dan makan-minum dengan bekerja. Tetapi bukan hanya itu fungsi pendidikan. Fungsi lain adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakatnya untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan yang selalu berubah.
Berbicara tentang tujuan pendidikan, kita tak dapat memisahkannya dengan tujuan hidup , yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus. Oleh karena tujuan pendidikan itu harus berpangkal pada tujuan hidup, lalu apakah tujuan hidup ini?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, para filosof berbeda pendapat. Orang-orang Sparta, salah satu kerajaan Yunani lama berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk berbakti kepada negara, untuk memperkuat negara. Dan pengertian kuat menurut mereka adalah kekuatan fisik. Oleh sebab itu tujuan pendidikan sparta adalah sejajar dengan tujuan hidup mereka, yaitu memperkuat, memperindah dan memperteguh jasmani. Maka mereka ciptakan berbagai macam olahraga yang sampai sekarang masih dipraktekkan di mana-mana. Sebaliknya orang Athena, juga salah satu kerajaan Yunani lama, berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencari kebenaran.
Mazhab-mazhab pendidikan Eropa Barat dan Amerika sesudah Descartes (1596-1650 M) mengambil dari kedua mazhab Yunani lama tersebut. Semua mazhab-mazhab itu, beranggapan bahwa dunia inilah tujuan hidup, di sinilah kita bermula dan di sinilah kita berakhir. Dari anggapan ini, mereka ada yang mengingkari adanya Tuhan, hari akhirat dan lain-lain, seperti para filosof Marxist, ada juga yang tidak begitu yakin akan ada atau tidak adanya Tuhan dan hari akhirat, seperti Kant, golongan rasionalis, eksistensialis dan lain-lain. Persis seperti ayat al-Quran berikut ini yang menggambarkan orang-orang dahriyyun (naturalis)
وَقَالُوْا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّوْنَ {الجاثية : 24}
Artinya :
”Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”
Islam memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Dzariyat : 56, yang artinya :”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Menyembah atau “ibadah” dalam pengertiannya yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Misalnya Allah memerintah manusia untuk melaksanakan sholat (salah satu ibadah formal) kepada-Nya, dengan berbuat demikian manusia menjadi suci, dari segi rohani, pikiran dan jasmani. Dalam melaksanakan sholat, maka seseorang harus suci dari hadas besar dan hadas kecil, juga tidak boleh sholat pura-pura atau karena riya. Selain itu roh kita menjadi suci sebab kita terhindar dari perbuatan jahat dan munkar. Jadi dengan melaksanakan salah satu perintah-Nya tersebut, maka manusia menjadi suci dari segala sesuatu, jadi ia mengembangkan pada dirinya salah satu sifat Allah, yaitu Maha Suci (Al-Quddus). Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya seperti zakat, puasa, haji dan syahadat, kalau diikuti pula dengan ibadah-ibadah tidak formal lainnya seperti berdagang, berumah tangga, menuntut ilmu yang semuanya menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syari’at tentulah sifat-sifat Tuhan yang banyak itu berkembang pada diri manusia dan ia semakin mendekati kesempurnaan.
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam dapat dibagi kepada tiga bagian berikut ini :
A. Tujuan Individual
Pada bagian ini tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan apa yang diperintah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Orang semacam ini hidup sejalan dengan akidah Islamiyahnya, serta mati dalam keadaan beragama Islam.
Seseorang yang menuntut ilmu hendaknya berupaya untuk memahami tujuan perintah dan larangan serta segala ucapan yang datang dari rasul. Selanjutnya jika hati seseorang telah meyakini bahwa apa yang dijalaninya itu sebagai yang dikehendaki rasul, maka janganlah berpaling kepada jalan yang lain.
Pribadi muslim yang baik adalah orang yang sempurna kepribadiannya, yaitu yang lurus jalan pikiran serta jiwanya, bersih keyakinannya, kuat jiwanya, sanggup melaksanakan segala perintah agama dengan jelas dan sempurna.
B. Tujuan Sosial
Pada dasarnya manusia itu memiliki dua sisi kehidupan, yaitu sisi kehidupan individual yang berhubungan dengan beriman kepada Allah dan sisi kehidupan sosial yang berhubungan dengan masyarakat, tempat manusia itu hidup. Oleh karena itu, Pendidikan juga harus diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik yang sejalan dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seseorang hendaknya menjadi ahli As-Sunnah, yaitu orang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, tunduk kepada kebenaran (al-haqq) dan kasih sayang pada orang lain. Orang yang membaca Al-Qur’an, giat dalam shalat dan puasa, tetapi membiarkan dan membuat kaum muslimin lainnya bergelimang dalam dosa dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama, saling mendustai dan sebagainya adalah seorang yang ahli bid’ah.
Pada tujuan sosial ini, pendidikan diarahkan agar dapat melahirkan manusia-manusia yang dapat hidup bersama dengan orang lain, saling membantu, menasehati, mengatasi masalah, dan seterusnya.
C. Tujuan Da’wah Islamiyah
Allah SWT telah mengutus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan memberi peringatan, sehingga segenap manusia hanya mengikuti Allah dan Rasul-Nya saja. Sementara manusia juga memikul beban mengajak manusia lainnya kepada jalan yang baik dan mencegah berbuat buruk. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi :
كُنْتُمْ خَيْرُ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ........ {ال- عمران : 110}
Artinya :
“Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Abu Hurairah mengatakan bahwa kehadiran manusia yang datang kepada manusia yang lain dengan dakwah adalah berupaya melepaskan belenggu dari rantai kebodohan sehingga mereka itu dapat masuk surga. Orang semacam itu rela mengorbankan harta dan jiwanya dalam berjuang untuk kemanfaatan manusia. Orang seperti inilah yang termasuk ummat yang baik. Makhluk itu tak ubahnya bagaikan keluarga Allah, mereka berusaha mencintai Allah dengan jalan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi makhluk-Nya itu.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tahap ketiga ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan menyebar-luaskan ilmu dan ma’rifat yang didatangkan Al-Qur’an al-Karim sebagaimana hal itu dilakukan kaum salaf. Kedua dengan cara berjihad yang sungguh-sungguh sehingga kalimat Allah yang demikian tinggi itu dapat berdiri tegak.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah menumbuh-kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Oleh karena itu, berbicara pendidikan Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai kesempurnaan hidup (keberhasilan hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak).
Wallahu A’lam.

Mengapa krisis ekonomi yang melanda negeri kita berkembang menjadi krisis moral bahkan krisis kemanusiaan? Eratkah kaitannya dengan dunia pendidikan di negeri kita? jelaskan !
Jawab :
Krisis moral berkaitan dengan kegagalan suatu sistem pendidikan, termasuk kegagalan pendidikan Islam, baik di lingkungan sekolah, masyarakat ataupun keluarga. Selama ini praktek pendidikan hanya menyentuh wilayah teori dan doktrin moral, tanpa keterlibatan murid dan guru dalam peristiwa yang melatarbelakangi sebuah teori dan doktrin moral. Teori iptek dan moralitas atau akhlak hanya menjadi bahan kajian, bukan sebagai wahana pembelajaran tentang kelahiran sebuah teori dan nilai moral yang membuka ruang bagi keterlibatan kesadaran murid dan guru di dalamnya. Pendidikan atau sekolah, seperti kegiatan belajar mengajar, diberi makna terbatas sebagai “ transfer ilmu dan nilai” bukan sebagai belajar hidup dan belajar ilmu”.
Model dan praktek pendidikan seperti ini menyebabkan anak-anak tidak memilki pengalaman memperoleh nilai dan iptek seperti yang dialami para guru mereka sebelumnya. Akibatnya pendidikan gagal berfungsi sebagai wahana anak-anak untuk bisa belajar hidup dengan segala persoalan yang ada di dalamnya.
Jelaskan apa tujuan pendidikan Islam ?
Jawab :
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Berbicara tentang tujuan pendidikan, kita tak dapat memisahkannya dengan tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Dalam hal ini para filosof berbeda pendapat. Misalnya orang-orang Sparta, salah satu kerajaan Yunani lama berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk berbakti kepada negara, untuk memperkuat negara. Dan pengertian kuat menurut mereka adalah kekuatan fisik. Oleh sebab itu tujuan pendidikan sparta adalah sejajar dengan tujuan hidup mereka, yaitu memperkuat, memperindah dan memperteguh jasmani. Maka mereka ciptakan berbagai macam olahraga yang sampai sekarang masih dipraktekkan di mana-mana. Berbeda dengan orang Athena, juga salah satu kerajaan Yunani lama, berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencari kebenaran.
Islam memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah dalam Q.S. Al-Dzariyat : 56, yaitu :
Menyembah atau “ibadah” dalam pengertiannya yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Misalnya Allah memerintah manusia untuk melaksanakan sholat (salah satu ibadah formal) kepada-Nya, dengan berbuat demikian manusia menjadi suci, dari segi rohani, pikiran dan jasmani. Jadi ia mengembangkan pada dirinya salah satu sifat Allah, yaitu Maha Suci (Al-Quddus). Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya seperti zakat, puasa, haji dan syahadat, kalau diikuti pula dengan ibadah-ibadah tidak formal lainnya seperti berdagang, berumah tangga, menuntut ilmu yang semuanya menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh syari’at tentulah sifat-sifat Tuhan yang banyak itu berkembang pada diri manusia dan ia semakin mendekati kesempurnaan.
Kesimpulannya, tujuan pendidikan Islam ialah menumbuh kembangkan pribadi anak didik sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar dalam rangka menuai kesempurnaan hidup, yaitu kebaikan (hasanah) di dunia yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan di akhirat kelak.

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian
1. Pengertian Sistem
Sistem adalah kesatuan yang terorganisir, terdiri atas jumlah komponen yang saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Ahmad Supardi, 1999 : 36). Sedangkan Pupuh Faturahman (2001 : 34) memberikan batasan sebagai berikut : (1) Sistem adalah suatu kesatuan yang terorganisir, terdiri atas sejumlah komponen yang berhubungan dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai. (2) Sistem adalah sekelompok objek/bagian yang independen dan berhubungan satu sama lain. (3) Sistem adalah seperangkat bagian yang telah dikoordinasi untuk mencapai seperangkat tujuan.
Dari definisi di atas dapat diambil pengertian bahwa sistem terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Perpaduan antara komponen tersebut pada tahap operasionalnya dipandang sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan. Untuk itu setidaknya dalam sebuah sistem; keintegrasian, keteraturan, keutuhan, keterorganisasian dan ketergantungan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain harus betul-betul dikoordinasikan.
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata didik, lalu kata itu mendapat awalan “me” sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberikan latihan (KBBI, 1992 : 232). Sedangkan secara terminologis mendefinisikan kata pendidikan dari berbagai tujuan ada yang melihat arti pendidikan dari kepentingan dan fungsi yang diembannya, atau ada yang melihat dari segi proses ataupun ada yang melihat dari aspek yang terkandung di dalamnya.
Definisi pendidikan dikemukakan para ahli dalam rangka mendukung, merumuskan pengertian yang beraneka ragam antara lain, yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam upaya perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu, pendidikan berusaha keras demi mencapai tujuan yang diharapkan tidak lain adalah mengharapkan munculnya manusia atau tumbuhnya manusia yang mapan dari segi mental dan spiritual dan berkembangnya segi rohani serta jasmani sehingga menjadi manusia paripurna. Sebagaimana pendapat Ahmad B. Marimba (1962 : 19) bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si pendidik menuju kepribadian yang utama.
Dalam memberikan bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan cuma-cuma terhadap orang yang benar-benar membutuhkan, pendidikan tidak diberikan begitu saja akan tetapi pendidikan mempunyai komponen-komponen tertentu seperti adanya tujuan, cara untuk menyampaikan kandungan itu. Seperti dijelaskan Hasan Langgulung (1986 : 33) bahwa pendidikan mempunyai komponen yakni ada tiga komponen (1) Tujuan (2) Kandungan (3) Metode. Komponen itu merupakan unsur pendidikan yang terpisahkan, karena pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada anak atau terhadap orang yang di didik.
3. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang islami, artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan faktor, upaya dan kegiatan pendidikan bersifat Islam, merujuk kepada konsep-konsep yang terkandung dalam ayat-ayat Allah yang tertulis maupun yang tidak tertulis pada setiap tingkatannya, baik filosofis, konsep, teoritis maupun praktis. Sedangkan Ahmad Tafsir memaknai pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan seseorang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.

B. Dasar dan Tujuan
1. Dasar
Dasar bisa disebut landasan atau asas, yaitu sesuatu yang dijadikan tempat berpijak dalam melakukan setiap usaha, kegiatan dan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, pendidikan sebagai usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan yang jelas dan kokoh sehingga prosesnya bisa benar-benar terarah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dasar pendidikan Islam adalah al-Qur’an, al-Hadits dan ijtihad para ulama. Ini merupakan sumber dasar religius. Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Dari kedua sumber inilah, kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk diantaranya masalah pendidikan Islam.
Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam yang mampu mengarungi segala zaman, situasi dan kondisi bagaimanapun. Kalam yang tertuang dalam al-Quran merupakan frame yang harus diterjemahkan dalam pendidikan Islam, sehingga dapat melahirkan output pendidikan yang berkualitas. Suatu sistem pendidikan yang dikembangkan berdasarkan al-Quran akan mewujudkan dan merefleksikan komunitas muslim yang sesuai dengan cita-cita yang diinginkan oleh Islam.
Begitu pula al-Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an juga merupakan landasan yang sama-sama mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Hadits yang merupakan penafsiran al-Quran adalah landasan praktik ajaran Islam secara faktual. Pribadi Nabi Muhammad saw, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan, merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia sebagai aktualisasi ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya hadits menjadi salah satu sumber ajaran Islam.
Jika integritas kepribadian Rasulullah dikaji lebih jauh, maka akan didapat kenyataan bahwa ia merupakan seorang pendidik yang agung, memiliki metode pendidikan yang luar biasa, pendidik yang selalu memperhatikan kebutuhan dan tabiat anak didik. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang pada akhirnya diharapkan dapat melahirkan manusia-manusia yang dicita-citakan oleh Islam, tentunya juga harus mengacu pada sunnah Nabi yang menggambarkan realitas pendidikan Islam.
Sebagai dasar pendidikan Islam, al-Quran dan al-Hadits adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan konsep, prinsip, teori dan teknik pendidikan Islam. Rasa dan pikiran manusia yang bergerak dalam kegiatan pendidikan mestilah bertolak dari keyakinan tentang kebenaran al-Quran dan al-Hadits. Selain itu, keduanya juga merupakan kerangka normatif-teoritis pendidikan Islam. Keduanya adalah sumber nilai kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya, yang telah memperkenalkan dan mengajarkan manusia untuk selalu berpikir. Karena itu, keduanya sudah semestinya dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam.
2. Tujuan
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapainya setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Fungsinya adalah untuk mengarahkan sistem kegiatan pendidikan, karena pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berproses dan bertahap serta bertingkat. Tujuan menjadi pedoman atau tolak ukur bagi kegiatan pendidikan, penetapan materi, metode, evaluasi yang akan dilakukan. Makanya tujuan pendidikan menjadi salah satu faktor yang paling penting dalam pendidikan.
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Berbicara tentang tujuan pendidikan, kita tak dapat memisahkannya dengan tujuan hidup , yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus. Oleh karena tujuan pendidikan itu harus berpangkal pada tujuan hidup, lalu apakah tujuan hidup ini?
Sejarah menggambarkan bagaimana pergumulan ide tentang tujuan hidup manusia tidak pernah tuntas, karena dianggap sangat berharga dan mengakar untuk dijadikan arah hidup dan kehidupan manusia. Ideologi-ideologi dunia dari mulai marxisme, kapitalisme, ataupun ideologi lainnya adalah bukti akan heterogenitas itu. Lalu bagaimana tujuan hidup manusia menurut ideologi Islam yang otomatis menjadi tujuan pendidikan Islam secara umum ?
Dalam menjawab hal itu, maka tujuan yang diharapkan dengan sendirinya tidak akan terlepas dari dasar yang merupakan titik tolak atau fondamen yang menjadi tempat berpijak dalam setiap melakukan usaha. Al-Quran dan al-Hadits menjadi dasar pendidikan Islam, di dalamnya terdapat penjelasan tentang tujuan hidup manusia.
Firman Allah SWT dalam surat al-baqarah ayat 30 dan adz-dzariyat ayat 56 :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً .............. { البقرة : 30 }
Artinya : “Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".........
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ {الذاريات : 56 }
Artinya : “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Tujuan hidup manusia menurut Islam tidak bisa terlepas dari ideologi Islam tentang manusia yaitu selaku khalifatullah dan abdullah. Artinya tujuan pendidikan Islam ialah membangun individu yang memiliki kualitas dan peran sebagai khalifah dan abdullah atau dengan kata lain membentuk pribadi yang dapat menjalankan fungsi kemanusiaannya.
Manusia sebagai khalifah, yang potensial untuk menguasai suatu keterampilan pengurusan dunia. Maka dalam hal ini dibutuhkan suatu proses pendidikan yang mampu mengembangkan keterampilan terdidik sehingga mampu mengolah sekecil apapun bagian bumi ini untuk dimakmurkan. Bumi dalam arti benda, gerak, waktu dan tenaga yang ada di dalamnya dari jenis manusia, binatang, tumbuhan, batu-batuan, angin, udara, berjalan, makan, bicara dan lain sebagainya.
Manusia sebagai abdullah, yang potensial untuk mengabdi/beribadah pada-Nya berdasarkan keteguhan iman dan taqwa yang sebenar-benarnya kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada ajaran Allah SWT, yang pengejawantahannya akan melahirkan keberadaan manusia yang digambarkan dalam do’a yang selalu dibaca dalam shalat, yang artinya : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya adalah karena Allah Tuhan sekalian alam.”
Maka pribadi yang dapat menjalankan fungsi kemanusiaannya; individu yang memiliki kualitas dan peran sebagai khalifah dan abdullah, akan menuai kesempurnaan hidup (keberhasilan hidup -hasanah- di dunia, yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan -hasanah- di akhirat kelak).

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT K. H. ABDUL WAHID HASIM

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT
K. H. ABDUL WAHID HASIM

Biografi K.H Abdul Wahid Hasim
Abdul Wahid Hasim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 atau bertepatan dengan tanggal 5 Rabi’al-Awal 1333 di Jombang, Jawa Timur. Dia adalah putra Kyai haji (K.H) Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Nama yang diberikan ketika ia lahir adalah Muhammad Asy’ari, meniru nama kakenya. Tetapi karena ia sering sakit, maka nama itu diganti dengan Abdul Wahid, nama salah seorang nenek moyangnya. Selama masa kecilnya ia dipanggil oleh ibunya dengan Mudin, sedang santri ayahnya memanggil dia dengan panggilan Gus Wahid.
Tahun dimana Wahid lahir, menurut Dhofier, mempunyai nilai sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mendasarkan argumentasinya dari analisis yang dikemukakan oleh Berhard Dahm, Dhoifier menyebutkan bahwa Budi Utomo dan Indische Partiji, dua organisasi yang diakui sebagai pelopor dalam pendirian organisasi modern yang bertujuan menumbuhkan kesadaran nasional, telah gagal menjadi organisasi massa yang besar. Berdasarkan fakta yang ada, semejak pendirian kedua organisasi tersebut, Budi Utomo hanya mampu merekrut sekitar 10.000 anggota, sedang Indische mempunyai angota sekitar 7.500 orang. Kegagalan mereka dalam mobilisasi masyarakat secara luas disebabkan, diantarnya, kurang mempunyai para pemimpin Budi Utomo untuk mengidentifikasi kemauan masyarakat secara umum, sedang Indische Partij lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada komunitas Eurasian dan cina.
Organisasi pertama yang berhasil menjadi organisasi massa yang besar adalah Sarekat Islam (SI). Sebelum SI berdiri, telah berdiri sarekat dagang Islam (SDI). yang didirikan oleh Samanhudin pada tahun 1911. Organisasi ini pada mulanya bergerak dalam bidang perdagangan. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 10 september 1912, organisasi ini dirombak dan diganti dengan nama sarekat Islam dengan HOS Tjokroaminoto sebagai ketuanya. Organisasi ini memperluas sasaran perjuangannya dengan mengkonsentrasikan pada masalah politik dan sosial, disamping tetap bergerak dalam bidang ekonomi. Pada awal berdirinya, organisasi ini hanya mempunyai 4.500 anggota.dua tahun kemudian, tahun dimana Wahid Hasim Lahir, keanggotaannya berlipat sampai berjumlah 366.913 orang.
Kondisi politik dan sentimen keagamaan yang begitu kental pada waktu itu mungkin tidak mempunyai arti bagi anak-anak akan tetapi kondisi waktu itu mempunyai arti sangat penting bagi Wahid Hasim sebagai anak Ulama yang terkenal dan khasismatik, K.H. Hasim Asy’ari yang mana semua pemimpin nasional, seperti Jendral Sudirman dan Bung Tomo seiring bersilaturahim guna mendapatkan nasehat dan petunjuk atas persoalan agama dan politik.
Melacak nenek moyang baik dari segi garis Ayah maupun Ibu, Wahid Hasim berasal dari keluarga yang agamis. Ini berarti bahwa dia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang agamis. Ibunya, Nafiqah, adalah anak dari Kyai Ilyas seorang kyai yang terkenal dari pesantren Sewulan Madium, sedang dari garis keturunan ayah, dia merupakan keturunan dari ulama yang sangat dihormati. Ayah, kakek dan kakek buyutnya adalah ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar ilmu agama dan yang mengilhami berdirinya pesantren di Pulau Jawa. Ayah Wahid Hasim sendiri, Hasim Asy’ari, adalah pendiri pesantren Jombang. Kakeknya, K.H. Asy’ari pendiri pesantern keras Jombang. Sedangkan kakek buyutnya, K.H. Usman, selain dikenal sebagai pendiri pesantren gedang, juga dikenal sebagai ulama yang mengenalkan ajaran tarekat Naqsabandiyah di Jombang, bahkan pesantrennya sebagaimana disinyalir oleh Gus Dur, sebagai pusat gerakan sufi di Jawa Timur.
Sebagai mana seorang Kya’i Hasim Asy’ari menaruh perhatian yang luar biasa dalam pendidikan agama bagi putra-putrinya dengan pertimbangan bahwa pendidikan sebagai elemen dasar dalam pembentukan kepribadian yang baik semejak kecil, Wahid Hasim belajar langsung bimbingan ayahnya. Selain belajar bahasa Arab, ia juga mempelajari yang lainnya, misalnya membaca al-Qur’an sebagai tahap awal dari sitem pembelajaran pesantren. Pada usia 7 tahun Wahid Hasim mulai belajar teks-teks bahasa Arab klasik yang bermaktub dalam kitab kuning.
Perkembangan pengatahuan yang diperoleh Wahid Hasim selalu menjadi perhatian ayahnya. Ketika Wahid Hasim sudah cukup dalam memahami agama ayahnya mengirim dia untuk lebih mendalami ilmu-ilmu agama diberbagai pesantren. Pada usia 13 tahun dia meninggalkan pesantren Tebu Ireng. Pesantren yang pertama dikunjunginya ialah pesantren Siwalan Panji, Siwoardjo, pesantren dimana ayahnya pernah belajar dibawah bimbingan Kya’I Hasim dan kya’I Chozin Panji.
Pada tahun 1936 dia mendirikan perpustakaan dan berdirinya organisasi Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Pada tahun 1938, Wahid Hasim ikut terlibat organisasi NU. Dan kemudian ketua cabang NU di Jomlang. 2 tahun kemudian ia dipromosikan menjadi pengurus besar NU tepatnya di Departemen Pendidikan (Ma’arif). Di lembaga inilah ia mempropagandakan ide-ide yang berkaitan dengan kurikulum pesantern dan mereorganisasi-organisasi NU. Wahid Hasim peduli terhadap perpolotikan saat itu, khususnya pada akhirnya penjajahan Belanda dan datangnya bangsa Jepang. Dia terlibat kedalam dalam menetang adanya penjajahan. Pada tahun 1940 ia terpilih menjadi ketua MIAI (Majlis al-Islam al-Ala Indonesia) sebuah pederisasi organisasi Islam pada tahun 1937, dimana NU dan Muhammadiyah menjadi tulang punggungnya. Bersama-sama dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
Setelah merdeka 1945, Wahid Hasim bersama ulama-ulama dari kalangan moderis maupun tradisionalis menyenggarakan Muhtawar Indonesia di Yogyakarta. Ia juga dipilih menjadi ketua Masyumi, menjadi mentri agama dalam tiga kabinet (Hatta, Natsir dan Sukirman) dan gagasan ia untuk mendirikan Perguruan Agama Islam Negeri (PTIN) yang kemudian diubah menjadi IAIN.
Ketika NU di bawah kepemimpinanya memutuskan keluar (melepaskan diri) dari Masyumi dan mendeklarasikan berdirinya NU sebagai partai politik pada tahun 1952, Wahid Hasim mencurahkan seluruh tenaganya bagi perkembangan partai tersebut. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 April 1953, ia meninggal dunia akibat tabrakan mobil ketika akan menghadirinya rapat NU di Bandung. Dikuburkan di tanah kelahirannya, Jombang dia meninggalkan istri, Solihah, dan enam orang putra. Putra tertuanya adalah Abdurahman al-Dachil, yang populer dipanggil Gus Dur mantan ketua PBNU dan Presiden ke-4.

Karya Wahid Hasim
Wahid Hasim adalah seorang penulis yang cukup produktif. Meskipun dia tidak menulis sebuah buku, berbagai artikel ditulisannya baik meyangkut masalah keagamaan, pendidikan maupun isu sosial politik. Tulisan-tulisnya dipublikasikan di berbagai majalah dan koran. Secara umum, tulisan Wahid Hasim dapat diklasifikasikan menjadi empat yakni pendidikan, politik, administrasi departemen agama, dan agama.
Dalam bidang pendidikan, Wahid Hasim memberikan perhatian terhadap reformasi pendidikan, misalnya pendidikan bagi anak, perkembangan kemampuan bahasa, pendidikan agama, termasuk di dalamnya pendirian perguruan tinggi agama, dan perlunya penggunaan rasio guna menyelesaikan masalah-masalah kekinian. Ia menulis juga sebuah artikel yang berjudul ‘’Abdullah Oebayd sebagai pendidikan’’ dalam artikelnya, dia menjelaskan bagaimana sebaiknya mendidik seorang anak, dia mengatakan bahwa anak-anak harus dilatih sejak dini untuk menggunakan segenap kemampuannya. Ini sangat penting untuk membiasakan mereka bersandar pada dan mengetahui kemampuan mereka sendiri. Dengan demikian, anak-anak akan tumbuh dengan percaya diri dan tidak mudah menyerah dalam menggapai cita-cita mereka.
Ia menumbuhkan rasa kebangsaan dengan mendorong anak bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia. Dalam artikelnya ‘’Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa’’ dia juga mengajak bangsa Indonesia menggunakannya sehari-hari dalam kehidupan. Artikel ini ditulis sebagai respon terhadap adanya kecenderungan menggunakan bahasa asing seperti bahasa Belanda dan Inggris, dalam sehari-harinya. Ekspresinya ‘’good morning atau goeden morgen’’ lebih banyak terdengar dalam masyarakat dibandingkan ‘’selamat pagi’’.
Berdirinya perguruan tinggi agama, menurut Wahid Hasim, merupakan satu cara mencapai kemajuan. Ia menekan bahwa ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dalam atmoster keterbukaan, tak dicampuri dengan doktrin agama dan politik. Dalam sambutannya, dia juga menambahkan bahwa perlu menjalin kerja sama antara perguruan tinggi lainnya, misalnya Sekolah Teologi, bahkan ia berharap adanya merger diantara perguruan tinggi tersebut.
Dalam artikelnya juga dituliskan ‘’Siapakah Jang Akan Menang dalam Pemilihan Umum Jang Akan Datang?’’ misalnya, Wahid Hasim secara terang-terangan mengkritiki partai-partai politik yang masih mengutamakan kepentingan indipidualisme keinginan (interest) golongannya di atas kepentingan Negara. Tujuh tahun setelah kemerdekaan, menurutnya tidak membuat Indonesia semakin bagus dalam beberapa aspek lebih buruk. Adanya situasi ini disebabkan partai politik tidak punya spirit untuk maju, tetapi sebaliknya mereka berebut untuk mendapatkan kursi, yakni mengamankan posisi mereka dalam pemerintah, meskipun tidak layak untuk mendudukinya. Wahid Hasim meminta agar partai politik menyadari kelemahan mereka, keluar dari pikiran yang sempit dan picik dan berjuang bagi kejayaan bangsa Indonesia secara umum.
Biografi Wahid Hasim, setidaknya menunjukan bahwa meskipun produk pesantren, dia adalah seorang yang berpikiran maju sebagaimana dibuktikan dengan keterlibatkan dalam berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik. Keterlibatannya di NU, MIAI, dan Masyumi mengindikasikan komitmennya terhadap pendidikan, perjuang kemerdekaan dan perkembangan sebuah Negara Indonesia yang kuat.

Pembaharuan Pendidikan
Setelah terlibat dalam perpolitikan beberapa tahun khususnya pada masa Jepang perang kemerdekaan Wahid Hasim kembali berkiprah dalam dunia pendidikan yakni terlibat dalam upaya meningkatkan pendidikan Umat Islam pada awal tahun 50-an. Penunjukan Wahid Hasim sebagai mentri agama dalam tiga kabinet, yakni kabinet Hatta, Natsir dan Sukirman, secara terus menerus, menurut Dhofier, merupakan pristiwa penting dalam sejarah Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan. Dia berargumentasi bahwa benar kementrian sudah ada sejak Kbinet Syahir, yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946, akan tetapi disesbabakan belum amannya situasi pada waktu itu sampai adanya pengakuan kedaulatan Negara Indonesia pada bulan desember 1949, kementrian agama mempunyai peran yang berarti dalam sistem pemerintahaan Indonesia. Wahid Hasimlah yang memberikan peran yang berarti.
Diantara usahanya adalah memasukan pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan nasional. Wahid Hasim menyadari bahwa sejak sisitem pendidikan nasional mengadopsi pelajaran sekuler, banyak hal yang hilang dari pendidikan terutama dalam yang berkaitan dengan nilai dan moral. Hal ini menjadi perhatiannya karena, sebagaimana disebutkan diatas pendidikan yang menjadi motor penggerak kemajuan Indonesia tidak hanya peroalan perkembangan akal atau badan dan keterampilan belaka, akan tetapi juga persoalan perkembangan spirit yang hanya dapat dicapai melalui pendidikan agama. Oleh karena itu, dia menekankan bahwa sistem pendidikan nasional harus memasukan pelajaran agama dan harus diberiakn secara seimbang dengan pelajaran umum. Perdebatan melalui apakan pelajaran agama harus diberikan disekolah pemerintah (negeri) atau tidak, akhirnya diakhiri dengan SK bersama antara kementrian agama dengan kementrian pendidikan yang menyatakan bahwa pelajran agama harus diberiakn sejak kelas 4 dan sekolah menengah selama 2 jam dalam seminggu. Berkat usaha Wahid Hasim-lah dalam kabinet, akhirnya pemerintahan mengeluarkan peraturan tertanggal 21 januari 1951, yang mewajibkan pelajaran agama harus diajarkan di sekoalah umum.
Untuk meningkatkan kualitas madrasah, Wahid Hasim mengusahakan adanya subsidi bagi madrasah swasta mulai level dasar, menengah pertama dan atas. Berkaitan dengan kurikulum, Wahid Hasim juga mengeluarkan peraturan mentri agama no. 3 tertanggal 11 Agustus 1950 yang mewajibkan adanya pelajaran umum diajarkan di madrasah.
Selama menjadi menrti agama, Wahid Hasim juga berinisiatif untuk mengembangkan sistem pendidikan yang sudah ada, misalnya didiriaknya PGA (Pendidikan Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Islam Negeri). Wahid Hasim menyadari bahwa kebanyakan guru yang mengajar di madrasah adalah lulusan HIS atau hanya lulusan pesantern yang dianggap belum mampu mengemban tugas tersebut, oleh karena itu berdirnya PGA di setiap propinsi dan kemudian tiap kabupaten mempunyai arti yang sangat penting, sehingga guru-guru madrasah yang lululs PGA akan dilengkapi berbagai keterampilan proses belajar mengajar yang modern. Hal ini mempunyai damapak positif dalam membantu peningkatan kualitas lulusan madrasah.
Wahid Hasim juga mendirikan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) pada tanggal 26 Desember 1951 di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi 14 IAIN, satu IAIN ditiap 14 provinsi, menampung kurang lebih tiga puluh ribu mahasiswa, perkembangan IAIN masa tersebut sangat tergantung kepada perkembangan madrasah ataupun PGA yang ingin melanjutakan pendidikannya. Meskipun pembentukan perguruan tinggi tersebut, menurut Wahid Hasim, bertujuan untuk mencapi kemajuan dengan memberikan penekanan pada pengembangan atmosfir berfikir secara rasional, sayangnya dalam perkembangannya, institusi ini banyak menghadapi problem,khususnya kualitas pendidikannya.
Beberapa orang bisa jadi menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Wahid Hasim menyebabkan adanya dualisme dalam sistem pendidikan Indonesia. Di satu sisi Departemen Pendidikan dan kebudayaan mengembangkan sistem pendidikan yang berorentasi kepada sistem barat, sedang disisi lain, yang lain, karena usaha Wahid Hasim, departemen agama menerapakan sistem pendidikan yang berorentasi pada institusi pesantren. Akan tetapi, pengambilan kesimpulan seperti itu menurut Dhofier, sama halnya menafikan fakta-fakta sejarah Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan. Sebagaimana dijelaskan diatas,belandalah yang mengenalkan sistem pendidikan barat yang menyebabkan adanya dikotomi pendidikan di tanah air. Apa yang di lakukan Wahid Hasim, dengan mendirikan dan mengembangkan madrasah,adalah upaya kompromi yang menjembatani dua sistem, sisitem barat dan sistem pesantren

KONSEP PENDIDIKAN THAHA HUSEIN

KONSEP PENDIDIKAN THAHA HUSEIN
A. Bibilografi Tentang Thaha Husein
Thaha Husein lahir pada tanggal 14 november 1889 di sebuah kota kecil bernama Maghargha dari keluarga petani. Pendidikannya diawali di Kuttab, sebuah lembaga pendidikan dasar tradisional. Kemudian melanjutkan studinya di al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak sukai. Thaha Husein tidak menyukai karena kecewa dengan system pengajaran al-Azhar yang dogmatis dan sempit serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan, disamping itu sikap kebanyakan para gurunya yang tidak simpatik. Dua orang disukainya adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Sayyid al-Marsyafy. Dari Muhammad Abduh ia belajar belajar studi keagamaan, dan dari al-Marsyafy ia belajar sastra dan studi literature bersama Zayyat dan Muhammad Hasan Zanati.
Thaha Husein dan para mahasiswa lainnya Hasan Zayyat dan Hasan Zanati sering mengkritik dan menolak Syuyuh al-Azahr, sebagai balasannya mereka diskors dari perguruan al-Azhar. Hasan Zuyyat dan Hasan Zuyati kemudian terjun kedinua kewartawanan sedang Thaha Husein masuk ke Universitas Cairo.
Pada tahun 1908 Thaha Husein mendaftarkan diri sebagai mahasisiwa Universitas Cairo. Di sinilah ia berkenalan dengan metode barat Modern, setelah berkenalan dengan tokoh-tokoh (Orientalis) semisal Profesor Carlo Nallino (1872-1934), orientalis bangasa Italia, pengajar sejarah Sastra dan puisi Zaman Bani Umayyah, Profesor Santillana, pengajar sejarah Filsafat Islami dan Khusus sejarah penterjemahan, Profesor Miloni pengajar Mesir purba dan Prof. Littman pengajar tentang bahasa-bahasa Smit serta perbandingannya dengan bahasa Arab.
Pada tanggal 5 mei 1914 thaha husein memepertahankan disertasinya yang berjudul “Dhkira Abi al-‘Ala al-Ma’ari” di hadapan guru besar Universitas Cairo dan berhasil dengan judisium Jayyid jiddan (baik sekali). Pada tahun yang sama (1914) Thaha Husein di kirim ke Perancis, tepatnya di universitas Sarbonne sebagai anggota misi pendidikan Universitas Cairo. Tiga tahun kemudian (1917) ia meraih gelar doctor (untuk yang jedua kalinya) melalui desertasinya yang berjudul “Etude Analatique Et Critique De La Philosophie Sosiale Ibnu Khaldun” dan memperoleh Judisium Cumlaude.
Di Universitas Sarbone, Thaha Husein bertemu dengan sederetan sarjana ternama semisal Prof. Emile Durkhaem (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Prof. Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Prof. Casanova dalam ilmu tafsir dan Prof. Pierre Jenet dalam ilmu Psikologi. Perkenalan dengan sederetan sarjana yang berbeda disiplin ilmu itulah yang kelak akan mewarnai intelektualitas Thaha Husein (terutama dalam penelitian) hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversi pada zamannya.
Merasa mendapatkan kemajuan intelektualitas diri di Paris itu, Thaha Husein lantas berucap: paris is the capital of the modern world even as Athen was the capital of the ancient world, with difference that in knowledge, in philosophy, in freedom and in civilization, paris has all the immence superiority over Athen. Sekembalinya dari perancis (1921), thaha Husein diangkat menjadi guru besar untuk sejarah Romawi dan Yunani Kuno pada Universitas Cairo. Pada tahun 1928thaha Husein diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra. Tahun 1930 ia diangkat menjadi Dekan pada Fakultas yang sama. Tahun 1942 Thaha husein berperan sebagai Penasehat Kementerian partai wafd, kemudian diangkat menjadi Rektor pada Universitas Aleandria yang beru didirikan dan pada bulan Januari 1950-1952 thaha Husein diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Keika menjabat itulah Thaha Husein dapat mewujudkan keinginanya dalam memajukan penidikan di Mesir (seperti yang kan dikemukakan nanti).

B. Kondisi Obyektif Tingkat Pendidikan di Mesir
Melihat kondisi obyektif tingkat pendidikan umat Islam dan terutama mesir dimasa hidupnyaThaha husein penting sekali. Tanpa mengetahui kondisi obyektif tersebut sulit kiranya memahami gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh Thaha Husein yang cukup kotroversial, dan besasr kemungkinannya akan menilai negatif terhadap ide pembaharuannya.
Ketiak Thaha Husein menekuni studinya, kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi telah berusia (kurang lebih) 100 tahun. Ini bila diukur dengan kontaknya orang mesir dan terutama para ulamnya dengan kebudayaan modern yang dibawa oleh Napoleon. Kedatangan Napoleon (yang bukan hanya datang dengan tentara, tetapi juga dengan unsur-unsur peradaban modern barat yang tidak dikenal oleh dunia Timur)dapat menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir, bahwa umat Islam sudah jauh ketinggalan dari bangsa Eropa.
Kesadaran tersebut terucap oleh Abd. Rahman al-Jabarti seorang Ulama al-Azhar dan penulis sejarah setelah berkunjung kelembaga ilmiah dan laboratium perancis, ia mengatakan bahwa di sana dilihatnya benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang sulit ditangkap oleh akal.
Sebagai tindak lanjut dari kesadaran (kesadaran akan kemunduran) tersebut, tumbuhlah hasrat uamt Islam untuk bangkit kembali sebagai halnya di masa silam. Muhammad Ali (1765-1849)mengambil langkah kongkrit dalam gerakan pembaharuan tersebut.
Diantara langkahnya adalah mengirimkan putera-putera Mesir untuk belajar terutama ke Paris. Salah seorang yang dikirim adalah Syeikh at-Tahtawi (1801-1873) dan sekaligus bertindak sebagai Imam bagi para mahasiswa Mesir di Ibukota Perancis itu. Di kota Cairo ia mendirikan sekolah Militer (1815), Sekolah Tehnik (1816), sekolah kedokteran (1827), sekolah Apoteker (1829), sekolah Pertambangan (18340, sekolah Pertanian (1936) dan sekolah penerjemahan (1836).
Disaat Thaha Husein menekuni studinya (pada penghujung abad 19 dan awal abad 20) kemajuan Mesir tertama dibidang pendidikan belum menunjukkan kearah kondisi seperti yang diharapkan. Ini dapat dibuktikan melalui data (tingkatan) penduduk yang buta huruf di Mesir waktu itu. Tingkat buta huruf mencapai 99% bagi populasi penduduk wanita 92% bagi penduduk laki-laki.
Perlu diketahui bahwa pintu perguruan al-Azhar baru terbuka untuk wanita pada tahun 1956, ini berarti 48 tahun setelah Qasim Amin (1865-1908), pendekar emansipasi wanita di Mesir telah tiada. Seruan emansipasi wanita ini juga nampak diperjuangkan oleh Najib kailani dalam novelnya An-Nida al-Khalid lewat tokoh Sobirin dan baru pada masa Thaha Husein, wanita telah diperbolehkan kuliah di al-Azhar, demikian juga di Universitas-universitas lainnya.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa perjuangan emansipasi wanita terliahat adanya kesinambungan organic dan tidak pernah terputus dari pada pemikir, dimulai dari at-Tahtawi (1801-1873), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), dan yang lainnya. Pada masa Thaha Husein inilah wanita Mesir mendapatkan kesempatan yang banyak untuk mene,pa diri serta berkiprah dalam rangka mengisi kemerdekaan Mesir.
Syahrin Harahap dalam disrtasi Doktoralnya yang berjudul “Gagasan-Gagasan Sekularisme Thaha Husein” menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan lemahnya perkembangan dunia pendidikan di Mesir. Pertama, kurang atau lemahnya perhatian dan daya pemerintah yang berkuasa. Kedua, kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan hanya mengikuti kebijakan penguasa. Ketiga, sung gerak akademis terlalu sempit dan kaku.
Melihat kondisi pendidikan di Mesir yang cukup memprihatinkan inilah, Thaha Husein berkesimpulan bahwa pendidikan harus ditempatkan pada peringkat pertama (posisi kunci) dalam membangun masyarakat modern. Untuk itu Thaha Husein berbekal intelektualitasnya yang memadai dan pengalamannya selama studi di Perancis memberanikan diri untuk mengemukakan gagasan-gagasannya dibidang pendidikan, kendati ide-ide tersebut telah disadari tidak berjalan mulus seperti yang diharap.

C. Thaha Husein dan Gagasan dalam Pendidikan
Gagasan Tahah Husein dalam pendidikan pada pokoknya mengacu pada dua sasaran dalam meningkatkan intelektual. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut Thaha Husein sangat menaruh harapan pada Perguruan Tinggi (Universitas) terutama Universitas Cairo. Dengan harapan melahirkan para ilmuwan yang bebas dan merdeka. Gagasan dan harapan Thaha Husein ini tentu sangat beralasan mengingat bangsa Eropa telah mampu memperlihatkan kemajuan dengan system pendidiakn yang mengutamakan kebebasan berfikir dan kebebasan meneliti dengan metode analisis modern.
Menurut Thaha Husein, putra-putra Mesir harus memiliki kemerdekaan intelektual dan Negara Mesir tidak akan sia-sia ketika memutuskan untuk menjadikan sebagai generasi mudanya untuk menjadi ilmuwan yang bebas sebagaimana ditempuh oleh bangsa-bengsa lain (Eropa). Untuk mendapatkan kemerdekaan intelektual itu tidak ada jalan lain kecuali mengerti bagaimana memperoleh dan mencapai kemerdekaan tersebut, langkah yang terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam.
Berangkat dari situlah Thaha Husein mencangakan agar system pendidikan di negeri Mesir di tingkat menengah hingga perguruan tingginya diberlakukan system dan metode Barat termasuk juga system dan metode penelitiannya. Gagasan-gagasan Thaha Husein dalam pendidikan ini paling tidak dapat diketahui melalui karyanya yang berjudul Mustaqbal al-Thaqafah fi Mesir atau The Future of Culture in Egypt (masa depan kebudayaan di Mesir).
Beberapa pernyataan Thaha Husein (yang pada akhirnya melahirkan banyak protes) adalah pendapatnya bahwa otak Mesir adalah otak Eropa atau paling tidak dekat sekali dengan Eropa, dan mempunyai pertalian dekat dengan Yunani fikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan fikiran Timur Jauh, dan juga tidak serasi dengan fikiran Persia atau Iran. Fikiran Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling mrnguntungkan hanya dengan Timur Dekat dan Yunani. Statemen yang lain adalah perkataanya bahwa tidak ada satu kebodohan yang lebih besar dari kebodohan yang menganggap bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir untuk memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.
Sebagai realisasi dari gagasan-gagsan tersebut, terlihat antara lain ketika Thaha Husein diangkat menjadi Menteri Pendidikan (1950-1920), diantara program pokoknya adalah memberantas buta huruf dan memperbanyak jumlah sekolah dan perubahan kurikulum. Khusus dalam perubahan kurikulum Thaha Husein memasukan beberapa materi yang besar pengaruhnya dalam mengembangkan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Materi tersebut adalah sejarah nasional, bahasa nasional (Arab) dan agama nasional (Islam). Materi-materi tersebut merupakan bidang studi wajib untuk semua tingkatan pendidikan, tak terkecuali sekolah-sekolah yang didirikn oleh orang asing.
Tahah Husein juga memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. Wanita hendaklah mendapat kesempatan yang sama dengan kaum pria, hingga diharapkan kelak tidak hanya terampil mengurus rumah tangga atau mendidik putera-puterinya, melainkan juga mampu membangun bangsanya dalam batas-batas tabiat kewanitaanya. Usaha perjuangan emansipasi wanita ini berhasil dan terlihat setelah masa tugas Thaha Husein selesai pintu al-Azhar telah terbuka untuk kaum wanita (1954).
Dalam bidang perangakat keras (Hardwere) pendidiakan Thaha Husein mendorong pemerintah untuk membangun lebih dari 2600 ruang belajar dan menghapuskan uang sekolah untuk tingkat menengah. Thaha Husein juga mengadakan penambahan muatan isi pendidiakn di beberapa lembaga pendidikan. Kalau pada masa sebelumnya al-Azhar baru memiliki Fakultas-Fakultas tradisional, seperti Ushulussin, Syari’ah dan Bahasa Arab dan setelah itu mahasiwa-mahasiswa al-Azhar dapat menyempurnakan pelajarannya ke bagian tajhasusu (Special Section) yang terbagi menjadi empat bagian: Tarikh dan Filsafat, Ushul Fiqih, Wa’az dan Irsyad atau propaganda Islam, pada masa Thaha Husein al-Azhar sudah membuka fakultas-fakultas “non agama”, seperti ekonomi, kedokteran, farmasi dan pertanian.
Perubahan yang sangat penting adalah dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajr yang tadinya didasarkan kemampuan mengingat (menghafal), kini diganti menjadi pengembangan kemampuan pengamatan, analisis dan penalaran (reasoning).
Proses belajar-mengajar dengan metode beru ini, menuntut para dosen berkemampuan menyegarkan informasi tentang perubahan-perubahan disiplin ilmunya serta memahami masalh-masalah dunia masa kini. Usaha lainnya adalah meningaktkan juga para mahasiswa dan dosennya di negara-negara Islam.
Demikianlah beberapa gagasan Thaha Husen dalam dunia pendidikan terutama di mesir dan Thaha Husein telah berbuat apa yang terbaik untuk generasi selanjutnya. Gagasan-gagasan Thaha Husein tersebut memang asing pada jamannya karena mengkiblat ke barat, namun ia tetap yakin dengan cara itu (meniru system pendidikan di barat) kemajuan di berbagai bidang di dunia Islam akan segera terlihat tanpa harus meninggalkan nilai-nilai keislaman itu sendiri
KESIMPULAN
Thaha Husein (1889-1973 ) adalah putra Mesir yang telah mendapatkan didikan dari universitas Cairo dan juga pendidikan barat (Perancis). Doktoralnya diperoleh di universitas Cairo dengan disertasi berjudul “Dhikra abi al-ala al ma’ari” sedang disarbone (Perancis) berjudul “Etude Analique Et Critique De La Fhilosofhie Sociale Ibnu Khaldun”.
Perhatiannya di bidang pendidikan sangat besar, karena itu ia berkeinginan mentransper metode pendidikan barat ke negara Islam, meskipun hal itu masih ditanggapi sebagai pemikiran aneh (Kontroversial) dengan kawan semasanya.
Diantara gagasan-gagasan Thaha Husaen yaitu penambahan muatan kurikulum, penambahan jumlah fakultas diperguruna tinggi dalam negri, inovasi terhadap metode belajar mengajar dan lebih berorientasi pada kegiatan analisis, emansipasi wanita dalam pendidikan, penambahan ruang belajar, bebas biaya bagi siswa tingkat menengah serta meningkatkan jumlah duta-duta ilmiah kenegara barat.
Menurut Thaha Husaen system pendidiakn itu harus mengutamakan kebebasan berfikir dan kebebasan meneliti dengan metode analisis modern. Adapun faktor yang menyebabkan lemahnya perkembangan dunia pendidikan di Mesir itu ada tiga. Pertama, kurang atau lemahnya perhatian dan daya pemerintah yang berkuasa. Kedua, kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan hanya mengikuti kebijakan penguasa. Ketiga, ruang gerak akademis terlalu sempit dan kaku.

KONSEP PENDIDIKAN HASAN AL-BANNA

KONSEP PENDIDIKAN HASAN AL-BANNA
(Madrasah Hasan Al-Banna/Ikhwan Al-Muslimin)
A. BIOGRAFI HASAN AL-BANNA
Hasan al-Banna dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1906 di Al-Mahmudiyah Provinsi Buhairah Mesir. Pada masa kecil, Hasan al-Banna dididik langsung oleh ayahnya Syeikh Ahmad bin Abdurrhaman bin Muhammad al-Bana as-Sadati yang mengajarkan al-Qur’an, al-Hadits, Fiqih, bahasa dan tasawwuf. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah dasar al-Mahmudiyah, kemudian masuk ke sekolah pendidikan guru di Damanhur.
Pada usia enam belas tahun Hasan al-Banna melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, Kairo. Kemudian pada tahun 1927 dalam usia 21 tahun ia berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Tidak lama kemudian ia menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah. Dari sejak itu, sampai dengan kurang lebih sembilan belas tahun di samping mengajar di pagi hari, beliau juga giat berdakwah pada sore hari dan hari-hari libur. Selain itu pada waktu berlibur ia gunakan untuk mengunjungi berbagai wilayah untuk menyampaikan dakwah.
Selanjutnya, data sejarah menyebutkan bahwa Hasan al-Banna juga termasuk salah seorang pengikut tasawuf Syadzaliah, dan menjalani kehidupan sebagai zahid dan beruzlah. Hal ini antara lain terlihat dari kehidupannya yang amat sederhana baik dalam hal pakaian maupun makanan.
Dari latar pendidikan tersebut tidaklah mengherankan jika Hasan al-Banna kemudian tampil sebagai sosok da’i, pejuang, propagandis dan politikus yang gigih dalam memperjuangkan cita-citanya. Perpaduan antara semangat Islam dan bakat memimpin yang dimilikinya itu tampak jelas ketika ia masih muda belia. Ketika masa remaja, misalnya, ia berhasil mengkoordinir organisasi di kalangan pelajar. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Hasan al-Banna memang memiliki kecenderungan berserikat dan mengorganisasi massa. Di sekolah menengah saja ia sudah terpilih sebagai ketua Jam’iyatul Adabiyah, sebuah perkumpulan karang mengarang. Bersama pelajar lainnya, ia membentuk Al-Jam’iyatul Hasafiyatul Khairiyah, semacam organisasi pembaharuan. Ia kemudian menjadi anggota Makarimul Akhlak Islamiyah, satu-satunya organisasi sejenis di Kairo.
Keterpaduan moral dan intelektual pada diri Hasan al-Banna sebagai pendiri Ikhwan al-Muslimin, selanjutnya kita akan mengkaji lebih jauh gerakan Ikhwan al-Muslimin tersebut khususnya di bidang pendidikan.
B. IKHWANUL MUSLIMIN
Dari segi bahasa ikhwan al-muslimin berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ikhwan dan al-muslimin. Kata ikhwan adalah bentuk jamak dari kata al-akh. Bentuk jamak lainnya dari kata tersebut adalah ikhwan, ukhwatun, ukhwanun, ukhana dan ukha’un yang berarti saudara atau persaudaraan. Sedangkan kata muslimin merupakan bentuk jamak dari kata muslim yang berarti orang-orang yang beragama Islam atau orang-orang yang berserah diri, patuh dan tunduk kepada Allah, agar selamat dan sejahtera di dunia dan akhirat.
Dalam bahasa Inggris ikhwan al-muslimin dikenal dengan istilah moslem brotherhood yang berarti persaudaraan orang-orang muslim, dan berarti pula anak laki-laki dari orang tua yang sama, seseorang yang terikat dengan orang Islam sebagai anggota masyarakat, sesama anggota masyarakat agama.
Selanjutnya kata brother dalam konteks ikhwan al-muslimin mengandung dua pengertian. Pertama berarti perasaan bersaudara dengan orang lain, dan kedua sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Dengan demikian, ikhwan al-muslimin merupakan sekumpulan orang yang antara satu dan yang lainnya terikat oleh tali persaudaraan yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama.
Sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, kehadiran Ikhwan al-Muslimin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat yang terjadi di Mesir pada masa itu. Sebagaimana gerakan pembaharuan Islam pada umumnya, Ikhwan al-Muslimin muncul sebagai reaksi terhadap sosio moral di Kairo. Masyarakat Kairo pada saat pada saat itu kurang peduli lagi terhadap nilai-nilai Islam. Dari hari ke hari para ulama tradisional di Mesir dinilai kurang lagi mampu berbuat untuk menghentikan tingkah laku kaum modernis kecuali hanya melemparkan sumpah serapah terhadap berbagai masalah bid’ah.
Selanjutnya sejarah mencatat bahwa dunia Islam pada saat itu, khususnya Mesir terlampau banyak dikendalikan oleh Barat baik dari segi moral maupun politik. Keadaan tersebut diawali ketika bulan Nopember 1914 Inggris mengumumkan perang melawan Kesultanan Otsman Turki, dan kemudian pada bulan berikutnya Inggris memproklamirkan Mesir sebagai wilayah protektoratnya. Sebagai akibat dari intervensi dan imperialisme Barat tersebut, umat Islam semakin terbuai oleh budaya lokal yang jumud serta lemah dalam mengamalkan nilai-nilai spiritual yang murni. Akibatnya, kehidupan keagamaan menjadi cenderung formalis dan penuh kemunafikan. Sementar praktek mistis membawa masyarakat kepada kehidupan takhayul dan memadamkan sifat orisinil Islam yang dikenal kreatif.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lainnya yang menyebabkan berdirinya Ikwan al-Muslimin adalah masalah kekacauan dalam bidang pendidikan. berbagai sumber mencatat, bahwa dalam sistem pendidikan terjadi dualisme. Di satu pihak sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan masyarakat, sedangkan di pihak lain sekolah agama melupakan pengetahuan umum.
Selain itu, situasi politik yang terjadi di Mesir pada saat itu juga mempengaruhi kelahiran organisasi ini. Sumber-sumber terpercaya menyebutkan bahwa di bidang politik luar negeri, dunia Islam terpecah ke dalam kelompok negar-negara kecil, dan dalam keadaan itu pula kaum imperialis merampas negara-negara Arab untuk dieksploitasi sumber kekayaan alamnya.
Beberapa faktor tersebutlah yang oleh para peneliti dan sejarawan dinilai sebagai yang melatar-belakangi bangkitnya Hasan al-Banna untuk membentuk suatu organisasi, yaitu pada saat setelah ia menyelesaikan studinya di Darul Ulum. Organisasi tersebut tepatnya didirikan di Ismailiyah, sebuah kota yang terletak di sebelah Timur Laut Kairo, Mesir, pada tahun 1928.
Sebagaimana diketahuai bahwa tema-tema sentral yang menjadi kerangka pemikiran Ikhwan al-Muslimin untuk melakukan gerakannya adalah berkaitan dengan masalah moral masyarakat, ekonomi, fungsionalisasi agama yang dinilainya sudah kurang mampu membendung pengaruh sekuler. Selain itu dasar yang paling penting yang dijadikan doktrin Ikhwan al-Muslimin dalam melancarkan pembaharuannya sebagaimana dikemukakan Ali Gharizah ada lima, yaitu Allah tujuan kami, Rasulullah tauladan kami, Al-Qur’an undang-undang dasar hidup kami, jihad adalah jalan perjuangan kami, dan syahid di jalan Allah adalah cita-cita luhur kami.
Kelima doktrin tersebut selanjutnya digunakan untuk menjadi dasar dalam perjuangannya, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, maupun pendidikan dan lain sebagainya.
C. KONSEP PENDIDIKAN HASAN AL-BANNA
Hasan al-Banna adalah seorang arsitek sebuah perubahan. Bahkan, seolah-olah ia dilahirkan untuk membangun kembali harga diri umat yang sedang runtuh dan melorot. Pembangunan kembali itu diawali dengan mendirikan madrasah terbesar dalam sejarah gerakan dakwah; Madrasah Hasan Al-Banna.
Penyebutan Madrasah Hasan al-Banna ini disematkan oleh salah satu kader terbaik ikhwanul muslimin, syaikh Yusuf Qardhawi, sebuah madrasah yang memiliki dua tujuan besar dalam pembangunan umat Islam. Dua tujuan itu ialah ilmiyah dan amaliyah, berilmu dan beramal.
Konsep pendidikan Ikhwan al-Muslimin ditujukan bagi pemecahan berbagai masalah sosial yang dihadapi. Dengan kata lain, Ikhwan al-Muslimin melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Atas dasar konsep tersebut, Ikhwan al-Muslimin mengajukan berbagai permasalahan pendidikan sebagai berikut :
1. Sistem Pendidikan
Salah satu pemikiran Hasan al-Banna di bidang pendidikan berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini Ikhwan al-Muslimin bermaksud memberi nilai agama pada pengetahuan umum, dan memberi makna progresif terhadap pengetahuan dan amaliah agama, sehingga sikap keagamaan tersebut tampil lebih aktual. Dalam hubungan ini Ikhwan al-Muslimin berusaha memperbaharui makna iman yang telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali kepada sumber-sumber ajaran yang orisinil. Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dari bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keterampilan yang positif dan konstruktif.
Orientasi ketuhanan dalam pendidikan amat penting, karena aspek ketuhanan atau keimanan merupakan hal yang terpenting dalam pendidikan Islam. Aspek keimanan ini sangat mendasar pengaruhnya, terutama jika dihubungkan dengan tujuan pertama pendidikan Islam, yaitu mewujudkan manusia-manusia yang memiliki keimanan yang kokoh. Yaitu iman yang tidak hanya terbatas pada pengertian dan perkataan, tetapi juga harus diimplementasikan dengan praktek-praktek ibadah dan ritualitas agama yang menumbuhkan sikap positif untuk kehidupan pribadi dan masyarakat.
Selanjutnya yang dimaksud dengan universal dan terpadu adalah bahwa pendidikan Islam tidak hanya mementingkan satu segi tertentu saja, dan tidak pula mengharuskan adanya spesialisasi yang sempit melainkan mencakup semua aspek secara terpadu dan seimbang. Pendidikan Islam tidak hanya mementingkan ruhani dan moral seperti yang terdapat pada paham kaum sufi, dan tidak pula hanya menekankan pendidikan rasio seperti yang didambakan kaum filosofis, dan tidak juga hanya mementingkan latihan keterampilan dan disiplin sebagaimana pendidikan dalam kemiliteran, tetapi pendidikan Islam itu mementingkan sesama dimensi secara seimbang.
Ciri universalisme dan terpadu dalam pendidikan Islam juga harus mementingkan aspek ruhani. Dalam hubungan ini Muhammad Quthb mengatakan bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang tidak terlihat dan tidak kita ketahui materi dan cara kerjanya. Ia adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah sesuai dengan fitrahnya, yaitu alat yang membawa manusia kepada Tuhan. Untuk mencapai tujuan penyatuan ruhaniah dengan Tuhan, manusia dianjurkan agar menciptakan hubungan yang terus menerus antara ruh dengan Allah pada saat dan kegiatan bagaimanapun, baik pada saat berpikir, merasa maupun berbuat.
Selain membina aspek ruhani, pendidikan Islam juga harus membina intelektualitas atau cara berpikir yang benar. Hal ini dinilai penting oleh Ikhwan al-Muslimin, mengingat eksistensi manusia terdiri dari unsur ruhani, akal dan jasmani. Ketiga unsur tersebut harus terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Khusus mengenai akal, Ikhwan al-Muslimin menilai bahwa akal merupakan potensi atau kekuatan besar yang diberikan Allah kepada manusia. Islam sangat menghargai akal dan menempatkannya sebagai salah satu dasar dari adanya pembebanan hukum, dan sebagai tolak ukur yang membedakan antara baik dan buruk. Dalam kaitan ini Ikhwan al-Muslimin manilai bahwa berpikir dengan menggunakan akal merupakan kegiatan mental yang bernilai ibadah. Sedangkan mencari bukti-bukti atas sesuatu merupakan keharusan, dan belajar merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslimin. Dengan demikian, tidaklah aneh jika pendidikan Islam sama sekali tidak dipisahkan dari pendidikan keimanan atau pendidikan jiwa. Hal ini dapat dimengerti, karena sikap seseorang merupakan cermin dari pemikiran dan pandangannya terhadap dunia, kehidupan dan manusia itu sendiri.
Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, Ikhwan al-Muslimin juga mementingkan pendidikan jasmani. Wujud nyata dari pendidikan jasmani ini menurut Yusuf al-Qardhawi adalah mengambil bentuk pemeliharaan kebersihan, pemeliharaan kesehatan secara preventif dan pengobatan. Untuk itu, kepada setiap anggota Ikhwan al-Muslimin ditekankan agar membiasakan hidup bersih, tidak merokok dan mengurangi minum kopi dan teh, karena hal itu akan mengganggu kesehatan. Pendidikan jasmani ini ditujukan : (1) agar setiap muslim berbadan sehat dan berupaya memelihara kesehatan fisik dan mental, (2) agar setiap muslim dapat beraktivitas dengan lincah dan positif, (3) agar setiap muslim mempunyai daya tahan tubuh yang senantiasa prima.
Sejalan dengan cita-cita tersebut di atas, Ikhwan al-Muslimin juga mementingkan pendidikan sosial merupakan salah satu misi perjuangannya. Dalam kaitan ini, Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa beribadah merupakan konsekuensi hubungan dengan Allah, sedangkan kepedulian sosial merupakan konsekuensi hubungan antara sesama manusia, dan perjuangan merupakan pengejawantahan hubungan dengan musuh-musuh agama.
2. Karakter Pendidikan Islam
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Ikhwan al-Muslimin selanjutnya membahas karakter pendidikan. menurutnya, bahwa karakter pendidikan Islam tidak hanya terletak pada optimalisasi pengembangan potensi dan sumber daya manusia, tetapi harus pula didasarkan pada kejernihan iman dan niat yang positif, karena tanpa itu semua penerapan sains dari hasil karya manusia hanya akan menimbulkan bumerang, bahkan dapat mendatangkan bahaya kehidupan dari yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Untuk mewujudkan karakter pendidikan demikian, maka perlu didasarkan pada rasa persaudaraan yang kokoh, keterpautan dan kepedulian dengan sesama anggota, bahkan kalau perlu siap menghadapai penderitaan. Dalam kaitan ini, sejarah mencatat beberapa tokoh Ikhwan al-Muslimin yang daging dan darahnya dimakan dan diminum stroom, tetapi mereka tidak mau menyatakan sesuatu yang dapat menyakiti dan membahayakan saudara-saudaranya sampai mati sekalipun. Demi memperjuangkan sikapnya itu, maka tidak sedikit pemuda-pemuda Ikhwan al-Muslimin yang harus menanggung siksaan, hanya karena tidak mau mengakui atau menunjukkan orang-orang yang diincar oleh penguasa zalim.
3. Lembaga Pendidikan
Selain berbicara tentang sistem dan karakteristik pendidikan, Ikhwan al-Muslimin juga berbicara tentang lembaga pendidikan. dalam hubungan ini, Ikhwan al-Muslimin mengajukan lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan lembaga pendidikan non formal atau luar sekolah.
Salah satu upaya untuk menangani pendidikan sekolah, Ikhwan al-Muslimin membentuk komite khusus di bidang pendidikan di kantor pusat, dan panitia yang bertugas mendirikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan (SL), dan Sekolah Teknik untuk anak laki-laki dan perempuan yang keadaannya berbeda dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. Ke dalam seluruh jenjang pendidikan formal tersebut Ikhwan al-Muslimin memberikan ciri Islam yang sangat kuat. Dalam hubungan ini, Mariyam Jamilah mengatakan bahwa Hasan al-Banna, selaku pendiri Ikhwan al-Muslimin tidak bosan-bosannya mengimbau pemerintah agar menata kembali pendidikan yang berasaskan Islam dan memperhatikan pentingnya penyusunan kurikulum yang berbeda antara siswa dan siswi, dan secara khusus ia memohon agar pengajaran ilmu-ilmu eksakta tidak dibaurkan dengan paham materialisme modern.
Selanjutnya berkenaan dengan pendidikan luar sekolah, Ikhwan al-Muslimin berpandangan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan melalui keluarga kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan lainnya yang sejenis. Dalam kaitan ini, Ikhwan al-Muslimin menyelenggarakan pendidikan keagamaan, kursus, kejuruan untuk anak putus sekolah, pendidikan privat bagi anak laki-laki dan perempuan, serta pendidikan kewiraswastaan bagi mereka yang tidak mampu lagi untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu Ikhwan al-Muslimin juga menyelenggarakan pendidikan dengan sistem halaqah, yaitu pendidikan yang diselenggarakan secara berkelompok dan membentuk lingkaran. Pendidikan ini merupakan suatu aktivitas yang paling esensial bagi para anggota Ikhwan. Dalam hubungan ini, Said Hawa mengatakan bahwa sesungguhnya keterlibatan Ikhwan dalam halaqah ini merupakan suatu keharusan, karena halaqah adalah unsur pokok dalam pergerakan. Hal ini pernah dilakukan Abu Darda di masjid, yaitu ketika ia mengajarkan Al-Qur’an semenjak matahari terbit, hingga salat dzuhur, dengan membagi-bagi murid sebanyak sepuluh orang setiap kelompok yang dipandu oleh seorang guru dalam setiap kelompok.
4. Metode Pendidikan Islam
Sejalan dengan kegiatan pendidikan tersebut, Ikhwan al-Muslimin menawarkan berbagai metode pendidikan yang dapat digunakan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Di antara metode pendidikan tersebut, adalah metode pendidikan melalui teladan, teguran, hukuman, cerita-cerita, pembiasaan dan pengalaman-pengalaman konkret. Secara keseluruhan metode tersebut dapat dijumpai dasarnya baik dalam Al-Qur’an maupun praktek yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membina para sahabat dan kader-kadernya.
D. ANALISIS
Berdasarkan uaraian tersebut terlihat jelas bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Muslimin sejalan dengan visi dan orientasi perjuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, baik dalam kehidupan keagamaan, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dengan demikian, Ikhwan al-Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat dan martabat ummat Islam khususnya yang berada di Mesir pada saat itu. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, Ikhwan al-Muslimin telah menggunakan semua jenis dan model pendidikan, dari yang bersifat formal sampai kepada yang bersifat non formal untuk mewujudkan visi dan misinya itu. Demikian pula berbagai metode yang dipandang efektif dan berdaya guna dapat digunakan sebagai cara untuk menerapkan pendidikan.
Seluruh kegiatan pendidikannya itu terlihat didasarkan pada ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan praktek kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam kaitan ini, maka Ikhwan al-Muslimin dapat digolongkan kepada kelompok sunni dan salafi, karena selalu merujuk kepada kemurnian ajaran Islam.


DAFTAR PUSTAKA
1. Herry Nurdi, How To Be Like Hasan Al-Banna, jakarta : UI –Press, 1986)

KONSEP PENDIDIKAN AL MAWARDI

KONSEP PENDIDIKAN
AL MAWARDI

A. Riwayat hidup Al Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu Al Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al Basry. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M, dan ia wafat di Baghdad pada tahun 450 H, bertepatan dengan tahun 1058 M.
Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa Al Mawardi hidup pada masa kejayan Islam, yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam mengalami puncak kejayaannya. Dari keadaan demikian tidaklah mengherankan jika Al Mawardi tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqih dan sastrawan di samping sebagai politikus yang piawai.
Dari segi pendidikannya, pada awalnya Al Mawardi menempuh pendidikannya di daerah kelahirannya sendiri, yaitu Basrah. Di kota tersebut Al Mawardi sempat mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal sperti Al Hasan ibn Ali ibn Muhammad ibn Al Jabaly, Abu Khalifah al Jumhy, Muhammad ibn ,Adiy ibn Zuhar al Marqy, dan sebagainya. Menurut pengakuan muridnya, Ahmad ib Ali al Khatib, bahwa dalam bidang al-Hadits, Al Mawardi termasuk tsiqat . Selain mendalami Al Hadits. Al Mawardi juga mendalami bidang fiqih pada syeikh Abu al Hamid al Isfarayany, sehingga ia tampil sebagi salah seorang ahli fiqih yang terkemuka dari mahab Syafi’i. Keahlian Al Mawardi selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir nahwu, filsafat dan ilmu social, namun belum dapat diketahuai secarapasti dari mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
Sungguhpun Al Mawardi tergolong sebagai penganut mazhab Syafi’i, namun dalam bidang teologi ia juga memiliki pemikiran yang bercoraka rasional. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan Ibn as Salah yang menyatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara Ahli as Sunnah dengan Mu’tazilah, Al Mawardi cenderung kepada Mu’tazilah.
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, Al Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim di beberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Dalam hal ini Al Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Safi,i, yang selanjutnya dinamakan al iqra.
Karir Al Mawardi selanjutnya dicapai pada masa khalifah Al Qaim (1031-1074). Pada waktu itu ia diserahi tugas sebagai duta diplomatic untuk melakukan negosiasi dlam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk Iran. Pada waktu itu ia mendapat gelar sebagai Afdal al Qudhat (hakim agung).
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai qadi, Al Mawardi juga sempat meluangkan waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Basrah dan Baghdad. Diantara muridnya yang terkenal bernama Ahmad ibn Ali al Khatib (392-463), seorang ulama hadits yamg terkenal, dan Abu al ‘Izz Ahmad ibn Ubaidillah ibn Qadisy.
Terlepas dari pandangan-pandangan fiqihnya, yang jelas sejarah mencatat bahwa Al Mawardi dikenal sebagai seorang yang sabar, murah hati, berwibawa dan berakhlak mulia. Hal ini antara lain diakui oleh para sahabat dan rekan-rekannya yang belum pernah memperlihatkan budi pekerti yang tercela.
Selain itu Al Mawardi juga dikenal sebagai seoarang ulama yang berani menyatakan pendapatnya walaupun harus menghadapi tantangan yang keras dari ulama lainnya. Selain sebagai seorang ulama yang waktunya banyak digunakan untuk keperluan pemerintahan dan mengajar, Al Mawardi juga tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulisannya dengan ikhlas. Menurut cacatan sejarah bahwa Al Mawardi memiliki karya ilmiah tidak kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok ilmu pengetahuan.
Pertama, kelompok pengetahuan agama. Karya Al Mawardi yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain kitab Tafsir berjudul An Nukat wa al Uyun. Buku ini menurut catatan sejarah belum pernah diterbitkan. Naskah buku ini masih tersimpan pada perpustakaan College ‘Ali di Konstantiniyah dan perpustakaan Kubaryali dan Rumpur di India. Selanjutnya buku berjudul Al Hawy al Kabir, yaitu buku fiqih dalam mazhab Safi,i yang memuat 4000 halaman dan disusuna dalam 20 bagian. Menurut informasi, buku ini sedang dikumpulkan naskahnya yang tersebar diberbagai negara Arab untuk dipublikasikan. Masih juga dlam bidang pengetahuan agama, tercatat kitab Al Iqra yang berisi ringkasan dari kitab Al Hawy dan ditulis dalam 40 halaman. Kemudian kitab Adab Al Qadi yang naskahnya berada di perpustakaan Sulaimaniyah di konstanturiah; dan kitab A’lam an Nubuwwah yang naskahnya masih tersimpan di Dar al Kutab al Misriyah.
Kedua, kelompok pengetahuan tentang politik dan kenegaraan. Buku yang temasuk ke dalam kelompok pengetahuan tentang politik dan ketatanegaraan ini adalah Al Ahkam al Sulthaniyah, Nasihat al Muluk, Tashil an Nazar wa Ta’jil az Zafar dan Qawanin al Wizarah wa as Siasat al Malik. Kitab Al Ahkam as Sulthaniyah termasuk karya Al Mawardi yang paling popular dikalangan dunia Islam. Buku ini berisi tentang pokok-pokok pikiran mengenai ketatanegaraan seprti teng jabatan khalifah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat sebagai khalifah dan para pembantunya, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah serta perangkat-perangkat ketatanegaraan lainnya. Buku ni telah diterbitkan di beberapa negara dan telah dialih bahasakan. Sementara itu kitab Nasihat al Muluk berisi nasihat bagi seorang pemimpin. Sedangkan Tashil an Nazar wa Ta’jil az Zafar adalah sebuah buku yang berisi masalah politik dan ragam pemerintahan. Selanjutnya kitab Qawanin al Wizarah wa Siasat al Malik berisi uraian mengenai ketentuan kementrian dan politik raja.
Ketiga, kelompok pengetahuan bidang akhlak. Buku yang termasuk ke dalam kelompok pengetahuan bidang akhlak ini diantaranya kitab An Nahwu, al Awsat wa’al Hikam dan Al Bughyah al ‘Ulya fi Adab ad Dunya wa ad Din. Buku An Nahwu berisis uraian mengenai tata bahasa dan sastra yang telah diteliti oleh Yaqut al Hamamy. Sedangkan kitab Al Awsat wa Al Hikam berisiskan 300 hadits, 300 hikmah, 300 buah syair. Sementara itu kitab Al Bughyah al ‘Ulya fi Adab ad Dunya wa ad Din merupakan kitab yang amat popular hingga sekarang dan dikenal sebagai kitab Adab ad Dunya wa ad Din.
Kitab Adab ad Dunya wa ad Din. Dinilai sebagai buku yang amat bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa. Sementara itu seorang ulama Turki bernama HawaisWafa ibn Muhammad ibn Hammad ibn Khalil ibn Dawud al Arzanjany pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328.

B. Pemikiran Al Mawardi dalam bidang pendidikan
Pemikiran Al Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terjonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dengan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan yang sangat penting, bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian besar bergantung kepada kualitas guru baik dari segi penguasaannya terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara menyampaikan materi pelajaran tersebut serta kepribadiannya yang baik, yaitu pribadi yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya secara harmonis.
Al Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadhu (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Menurut Al Mawardi sikap Tawadhu akan menimbulkan simpatik dari para peserta didiknya, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru kurang disenangi. Sikap Tawadhu yang dimaksudkan Al Mawardi bukanlah sikap menghinakan diri atau merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang lain, karena sikap ini akan menyebabkan orang lain meremehkannya. Sikap tawadhu yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan merasa sederajat dengan orang lain dan saling menghargai. Sikap demikian akan menumbuhkan rasa persamaan, menghormati orang lain, toleransi, serta rasa senasib dan cinta keadilan. Dengan sikap tawadhu tersebut, guru akan menghargai muridnya sebagai mahluk yang memiliki potensi, serta melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini sejalan dengan prinsip yang digunakan para pendidik di zaman modern, yaitu bahwa dalam kegiatan belajar mengajar di masa sekarang seorang murid dan guru berada dalam kebersamaan.
Pada perkembanagn selanjutnya sikap tawadhu tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengmabangkan individu seoptiml mungkin. Guru tersebut menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes, dimana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Pelaksaan prinsip demokratis di dalam kegiatan belajar mengajar dapat diwujudkan dalam bentuk timbal balik antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru. Dalam interaksi tersebut seorang guru akan lebih banyak memberikan motivasi, sehingga murid menjadi bersemangat dan bergairah serta merasa mempunyai harga diri, karena potensi, kemauan, prakarsa, dan kreatifitasnya merasa dihargai. Dengan demikian sikap demikratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar siswa aktif.
Selanjutnya Al Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain harus bersikap tawadhu, juga harus bersikap ikhlas. Secara harfiah berarti menghindari riya. Sedangkan dari segi istilah ikhlas berarti pembersiahn hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya. Keikhlasan ini ada kaitannya dengan motivasi seseorang. Sebagaimana kita ketahui bahwa ada guru yang mengajar ada karena motif ekonomi, memenuhi harapan orang tua, dorongan teman atau mengharapkan status dan penghormatan serta lainnya.
Selain moyif-motif tersebut seorang guru harus mencinyai tugasnya. Kecintaan ini akan tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati. Namun motif yang paling utama menurut Al Mawardi adalah karena panggilan jiwanya untuk berbakti kepada Allah SWT dengan tulus dan ikhlas. Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa akhlak yang harus dimiliki para guru adalah menjadikan keridhoan dan pahala dari Allah SWT sebagai tujuandalam melaksanakan tugas menajar dan mendidik muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi. Pernyataan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa Al Mawardi menghendaki agar seorang guru benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya bahwa tugas mendidik dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yajni keridhoandan pahala Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari orientasi semacam ini adalah pelaksanaan tugas guru dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung jawab.
Selanjutnya Al Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasra motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik merupakan aktifitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarkan dengan materi. Dalam kaitan ini Al Mawardi mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu adalah puncak segala kenikmatan dan pemuas segala keinginan. Siapa yang mempunyai niat ikhlas dalam ilmu, maka ia tidak akan mengharap mendapatkan balasan sari ilmu itu.
Dengan demikian, tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan Al Mawardi merupakan tugas yang luhur dan mulia. Itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-mata mengharapkan ridha Allah. Apabila yang dituju dari tugas mengajarnya itu adalah materi, maka is akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya. Selain itu ia sengat peka terhadap hal-hal atau persoalan yang ditemukan dalam tugasnya, misalnya soal administrasi, kenaikan pangkat, hubungan dengan kepala sekolah dan sebagainya. Tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal ini selanjutnya dapat merusak atau mengurangi hasil atau nilai pendidikan yang diterima anak didik. Dengan kata lain, seorang guru dalam pandangan Al Mawardi bukanlah orang yang berorientasi pada nilai ekonomi yang diterimanya sebagai akibat atau imbalan dari tugasnya. Dari uraian tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa makna keikhlasan seorang guru dalam mendidik adalah kesadaran akn pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal. Keikhlasan inilah akan menentukan keberhasilan tugasnya sehari-hari, tanpa merasakannya sebagai suatu beban, melainkan sebaliknya justru akam merasa bahagia, penuh harapan dan motivasi, karena dari tugas mengajar dan mendidiknya itu, ia kelak akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
Berdasarkan sikap ikhlas tersebut, maka seorang guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara professional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
Pertama, selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti dalam penguasaan materi (bahan pelajaran), pemilihan metode,penggunaan sumber dan media pengajaran, pengelolaan kelas dan lain sebagainya.
Kedua, disiplin terhadap peraturan dan waktu, dalam keseluruhan hubungan social dan profesionalnya, seorang guru yang ikhlas akan bertindak tepat dalam janji dan penyelesaian tugasnya. Guru yang ikhlas akan mampu mengelola waktu bekerja dan waktu lainnya dengan perencanaan yang rasional dan disiplin yang tinggi.
Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesionalnya. Guru yang ikhlas dalam keseluruhan waktunya akan digunakan secara efisien, baik dalam kaitannya dengan tugas keguruan maupun dalam pengembangan kariernya, sehingga ia akan mencapai peningkatan. Bila sebagian waktu luangnya digunakan juga untuk hal-hal yang berada di luar tugasnya, maka guru yang ikhlas akan menggunakannya secara bijaksana dan produktif serta tidak mengganggu tugas pokoknya.
Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Guru yang ikhlas akan menyadari pentingnya katekunan dalamkeuletan bekerja dalam pencapaian keberhasilan tugasnya. Oleh karenanya ia akan selalu berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan mengatasi segala kesulitan dengan penuh kesabaran, sehingga akhirnya program pendidikan yang telah ditetapkannya akan berjalan sebagaimana mestinya serta mencapai sasaran. Di samping itu, keuletan dan ketekunan yang ditampilkan guru sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang ulet, tekun, penuh kesungguhan dak ketelitian.
Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini timbul dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan pendidikan masa mendatang, sejalan dengan kemajuan iptek. Guru yang ikhlas akan terus mengevaluasi dan mengadakan perbaikan proses belajar mengajar yang telah digunakannya selama ia bertugas. Lebih jauh dari itu, guru tersebut akan mempelajari kelemahan dan kelebihan dari berbagai teori dan konsep yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar yang diterapkan para pendahulunya, untuk selanjutnya dilakukan penyempurnaan dan pengayaan. Mengingat tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara mekanis, eksak dan dengan resep tunggal serta tak terbatasnya variasi tindakan keguruan, maka guru dituntut untuk mampu bertindak kreatif.
Dalam kaitannya dengan keikhlasan tersebut, Al Mawardi juga berbicara tentang gaji. Dalam hubungan ini, Al Mawardi mengatakan bahwa di antara akhlak yang harus dimiliki seorang guru adalah membersihkan diri dari pekerjaan-pekrjaan syubhat dan menguras tenaga. Hendaknya ia merasa cukup atas penghasilan yang dicapai dengan mudah, daripada penghasilan yang dicapai dengan susah payah. Guru harus meninggalkan pekerjaan yang syubhat, karena perbuatan syubhat akan berakibat dosa. Pahala lebih baik dari dosa dan kemuliaan lebih pantas dibandingkan dengan kehinaan.
Pernyataan Al Mawardi tersebut mengingatkan kepada kita tentang peranan dan figure strategis yang dimiliki seorang guru. Menurut Al Mawardi bahwa seorang guru harus merupakan figur yang dapat dicontoh oleh murid dan masyarakat. Oleh karena itu segala tingkah laku guru harus sesuai dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran agama yang berasal dari wahyu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggung jawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini Al Mawardi mangatakan hendaknya seoran guru menjadikan amal atas ilmu yang dimilkinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia temasuk golongan yang dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya dengan seekor keledai membawa kitab di punggungnya.
Pernyataan Al Mawardi tersebut mengisyaratkan bahwa bagian dari kegiatan mendidik adalah memberikan teladan. Oleh karena itu dalam memberikan ilmu kapada muridnya, seorang guru dituntut memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya. Dengan kata lain, seorang guru harus konsekuen dalam menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan dan perintah dengan amal perbuatannya sendiri. Selain sebagai teladan, seorang guru juga harus tampil sebagai penyayang. Guru merupakan actor kedua setelah orang tua dalam memberikan modal atau bekal dasar kepada anak-anaknya. Oleh karenannya, guru sebagai pendidik profesional dituntut untuk berperan sebagai orang tua di sekolah. Dengan kedudukannya yang demikian, maka seorang guru harus memiliki sifat kasih sayang dan lemah lembut terhadap muridnya. Dalam hubungan ini, Al Mawardi mengatakan bahwa diantara akhlak seorang guru adalah tudak berlaku kasar kepada muridnya, tidak boleh menghina murid yang sedang berkembang, tidak boleh memandang rendah murid-muridnya. Karena semua itu akan membuat mereka lebih tertarik, terkesan, dan bersemangat.
Kasih sayang dan lemah lembut yang ditujukan oleh guru tersebut sejalan dengan psikologis manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan semangat belajar seorang murid atau sebaliknya amat bergabtung kepada adanya hubungan antara murid dan guru. Apabila guru bersikap kasar dan keras hati serta menggunakan cara-cara mengajar yang tidak tepat, seperti mengancam, menyesali, menghina dan tidak mendorong para murid untuk giat belajar, maka hal itu dapat menyebabkan para murid kurang senang kepada guru dan tidak mau menerima pelajaran yang diberikannya. Secara psikologis, setiap manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus daripada diperlakukan dengan cara-cara keras dan kasar.
Selanjutnya seorang guru juga harus tampil sebagai motivator. Seorang murid akan belajar sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak demi mencapai kesuksesan, jika ia menyadari manfaat belajar, sehingga kegiatan belajar itu dirasakannya sebagai suatu kebutuhan dan sesuatu hal yang penting baginya. Dalam kaitan ini diantara akhlak para guru adalah tidak menghadapi muridnya dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena semua itu akan menghilangkan rasa simpati pada gurunya dan pada gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal itu terus berlangsung, maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu yang disebabkan kelalaian para guru. Peranan guru sebagai motivator penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Megingat mengajar seperti yang dikatakan William Burton adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar.
Selanjutnya Al Mawardi menegaskan tentang tugas dan peran guru sebagai pembimbing. Bimbingan dapat diartikan sebagai kegiatan memantau murid dalam perkembangannya dengan jalan menciptakan lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan dari segi bentukya bimbingan tersebut dapat berupa pemberian petunjuk, teladan, bantuan, latihan, penerangan, pengetahuan, pengertian, kecakapan dan keterampilan, nilai-nilai, norma serta sikap yang positif. Dalam kaitan ini Al Mawardi mengatakan, diantara kewajiban guru adalah memeberikan nasihat atau bimbingan kepada muridnya, kasih sayang, mempermudah jalan bagi muridnya, berusaha keras menolong dan membantu muridnya. Semua itu akan menghasilkan pahala yang besar, keluhuran namanya, serta semakin bertambah dan menyebar ilmunya.
Bentuk-bentuk bimbingan tersebut selanjutnya adalah dengan jalan membantu murid-murid untuk mengembangkan pemahaman diri sesuai dengan kecakapan, minat, pribadi, hasil belajar serta kesempatan yang ada, membantu proses sosialisasi dan sensivitas kepada kebutuhan orang lain, mengembangkan motif-motif intrinsic dalam belajar sehingga tercapai kemajuan pengajaran, memberikan dorongan dalam pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan keterlibatan diri dalam proses pendidikan, mengembangkan nilai dan sikap secara menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri sendiri, memahami tingkah laku manusia, membantu murid-murid untuk memperoleh kepuasan pribadi dan dalam penyesuaian diri secara maksimum terhadap masyarakat serta membantu aspek fisik, mental dan social.
Dalam uraian tersebut di atas terlihat bahwa pemikiran Al Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian seorang guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Sebenarnya seorang guru bukan hanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi juga harus memilki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi yang akan diajarkannya. Namun jika hal tersebut dibandingkan dengan kepribadian, tampaknya Al Mawardi lebih mengutamakan kepribadian. Hal ini dapat dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang sulit dibentuk.

C. Analisis
. Dalam pembahasan mengenai pemikiran Al Mawardi tersebut mengatakan bahwa Al Mawardi banyak memberikan kontribusinya berupa pemikirannya terhadap pendidikan Islam. Beliau banyak menitikberatkan pada hubungan guru dengan murid. Dalam hal ini Mawardi menfokuskan pada keprofesionalan guru dalam mendidik anak dididknya. Guru merupakan sentral dari kegiatan belajar mengajar. Menurut Al Mawardi keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh guru. Jadi pada dasarnya kualitas guru dalam proses belajar mengajar sangat menentukan.
Keberhasilan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh mutu profesionalisme seorang guru. Guru yang profesional bukanlah guru yang hanya dapat mengajar dengan baik, tetapi juga guru yang dapat mendidik. Untuk itu selain harus menguasai ilmu yang diajarkan dan cara mengajarkannya dengan baik, seorang guru juga harus memiliki akhlak yang mulia. Guru juga harus mampu meningkatkan pengetahuannya dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan zaman. Berbagai perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus diantisipasi oleh guru. Dengan demikian seorang guru tidak hanya menjadi sumber informasi, ia juga dapat manjadi motivator, inspirator, dinamisator, fasilitator, evaluator dan sebagainya.
Jika kita membandingkan karakteristik guru yang dikatakan oleh Al Mawardi dengan para ahli pendidikan yang lainnya, misalnya Al Ghazali. Al Ghazali mengatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus bersih hati, berbuat dan bersikap yang terpuji, serta sebagai pengayom, berkasih sayang terhadap murid-muridnya dan hendaknya memperlakukannya sebagai anaknya sendiri. Sedangkan menurut Ibn Muqaffa bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, meluruskan pikirannya, dan menjaga kata-katanya terlebih dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain.
Sehubungan dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka saya kira keberhasilan pendidikan tidak seluruhnya tergantung terhadap guru. Namun di samping itu ada sub sistem lain yang berhubungan dengan saling keterkaitan mendukungnya. Saya paham dengan pemikiran Al Mawardi, karena mungkin saat itu guru dijadikan sentral dalam pendidikan. berbeda dengan zaman sekarang ini yang memerlukan sub sistem lainnya

PUISI HITUT

PUISI HITUT

Jalma jujur jalma nu daek ngaku lamun ges hitut
Jalma teu jujur jelema nu hitut tuluy nyalahken batur
Jalma beleugug jalma nu nahan hitut mang jam-jam lilana
Jeuleuma nu berwawasan jeuleuma nu apal iraha kuduna hitut

Jelema nu misterius jelema nu hitut tapi batur euuuuu nu nyahoeun
Jelema nu sok gugup jalma nu ujug-ujug nahan hitut mun ker hitut
Jalma nu percaya diri jalma nu yakin yen hitutna seungit
Jalma nu sadis jalma nu hitut bari dibeukeum ku leungeun tuluy di beukeumkeun ka irung batur

Jalma nu isinan jalma nu hitutna teh teu di sada tapi ngarasa isin sorangan
Jalma nu sial mun hitut kaluar jeng bukur-bukurna
Jalma nu stratejik lamun hitut sok bari seri ngagak-gak meh nutupan sora hitutna
Jalma nu bodo lamun ges hitut tuluy narik nafas ker ngagentian hitutna nu kaluar

Jelema nu pedit lamun hitut dikaluarkeun saeutik-saeutik nepi ka di sada tit..tit…tit…
Jelema nu sombong jelema nu sok ngambeuan hitutna sorangan
Jelema nu ramah jelema nu sok reuseup ngambeuan hitut batur
Mun jeuleuma nu tara gaul hitutna sok bari nyumput
Jeuleuma nu sakti lamun hitut bari make tanaga dalam
Jeuleuma nu pinteur jalma nu bias nyirian hitut batur

Jumat, 26 Februari 2010

Tujuan Pembelajaran sebagai Komponen Penting dalam Pembelajaran

Tujuan Pembelajaran sebagai Komponen Penting dalam Pembelajaran
30 Agustus 2009
A. Pendahuluan
Kegiatan menyusun rencana pembelajaran merupakan salah satu tugas penting guru dalam memproses pembelajaran siswa. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa salah satu komponen dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu adanya tujuan pembelajaran yang di dalamnya menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
Agar proses pembelajaran dapat terkonsepsikan dengan baik, maka seorang guru dituntut untuk mampu menyusun dan merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan tegas. Oleh karena itu, melalui tulisan yang sederhana ini akan dikemukakan secara singkat tentang apa dan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada para guru dan calon guru agar dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas dari mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya..
B. Apa Tujuan Pembelajaran itu?
Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas hampir di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu. Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran .
Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik. Yang menarik untuk digarisbawahi yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).
Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
B . Bagaimana Merumuskan Tujuan Pembelajaran?
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi. Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran.
Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran. Bloom mengklasifikasikan perilaku individu ke dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu: (1) kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dakamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation); (2) kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan (3) kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation, membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2) analisis taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.
Berkenaan dengan perumusan tujuan performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan
Telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD. A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima)
C. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Seorang guru dalam merencanakan pembelajaran dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas.
2. Perumusan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu bagi guru maupun siswa
3. Saat ini telah terjadi pergeseran dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari penguasaan bahan ke penguasan performansi.
4. Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
5. Tujuan pembelajaran seyogyanya dirumuskan secara jelas, yang didalamnya mencakup komponen: Audience, Behavior, Condition dan Degree
Sumber:
• Hamzah B. Uno.2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
• Nana Syaodih Sukmadinata. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
• Omar Hamalik.2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara
• Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses
• W. James Popham dan Eva L. Baker.2005. Teknik Mengajar Secara Sistematis (Terj. Amirul Hadi, dkk). Jakarta: Rineka Cipta.
• W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo.